KRIMINALITAS PERKOTAAN

BAB I
PENDAHULUAN
A)    Latar Belakang
Kompleksitas permasalahan masyarakat kota sebagai akibat dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan globalisasi memicu terjadinya berbagai tindakan sosial yang tidak selaras dengan aturan hukum dan norma sosial yang berlaku. Ketidak mampuan seorang individu untuk beradaptasi dalam lingkungan sosial masyarakat perkotaan yang hiperkompleks menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan berbagai konflik baik secara eksternal maupun internal. Maka terjadilah tindakan-tindakan sosial yang menyalahi aturan dan menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat atau sering disebut dengan kriminalitas.
Kriminalitas merupakan suatu bentuk tindakan sosial yang tidak sesuai dengan dengan aturan hukum dan norma sosial yang berlaku, sehingga mengakibatkan adanya ketidak selarasan dalam kehidupan sosial. Kriminalitas sendiri merupakan suatu permasalahan yang komplek dan saling terkait dengan permasalahan sosial yang lain.
Terjadinya kriminalitas tidak hanya dilakukan atas dasar niatan diri sendiri, melainkan juga bisa terjadi akibat adanya sistuasi sosial yang memaksa individu untuk melakukannya demi mempertahankan eksistesinya.
Kriminalitas diperkotaan sudah menjadi istilah yang tidak asing lagi didengar. Berbagai media massa baik cetak maupun elektronik tidak henti-hentinya mengabarkan informasi seputar kriminalitas yang banyak terjadi di perkotaan. Dewasa ini, kriminalitas perkotaan tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja. Melainkan dilakukan oleh semua kalangan baik anak-anak, remaja, orang dewasa maupun orang tua. Kecendrungan untuk melakukan tindak kriminalitas tersebut bisa saja dilatarbelakangi oleh berbagai faktor sebagai dampak laten dari adanya keadaan sosial perkotaan. Berbagai tindak kriminal yang terjadi diperkotaan mengakibatkan adanya kecurigaan suatu individu terhadap orang lain sehingga berdampak pada kecendrungan untuk bersikap individualisme. Berdasarkan permasalahan di atas, maka kami mengambil judul “Masalah Sosial Kriminalitas Perkotaan”.

B)    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka, rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut.
1)      Apa yang dimaksud dengan “masalah sosial kriminalitas perkotaan”?
2)      Bagaimana teori yang berkaitan dengan kriminalitas?
3)      Apa saja faktor sosial penyebab kriminalitas di perkotaan ?
4)      Apa saja kriminalitas yang dominan terjadi di perkotaan?
5)      Bagaimana upaya penanggulangan kriminalitas di perkotaan?

C)    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut.
1)      Untuk mengetahui maksud dari “masalah sosial kriminalitas perkotaan”.
2)      Untuk memahami bagaimana teori yang berkaitan dengan kriminalitas.
3)      Untuk mengetahui bebagai faktor sosial yang menyebabkan terjadinya kriminalitas di perkotaan.
4)      Untuk mengetahui berbagai jenis kriminal yang sering terjadi di perkotaan.
5)      Untuk mengetahui upaya penganggulangan dari masalah sosial kriminalitas di perkotaan.














BAB II
PEMBAHASAN
Komunitas atau masyarakat perkotaan sering di identikkan dengan masyarakat modern (maju), tidak jarang pula dipertentangkan dengan masyarakat pedesaan yang akrab dengan predikat masyarakat tradisional mana kala dilihat dari aspek kulturnya (Wahyu, 2007: 215). Seiring dengan hal tersebut, kriminalitas perkotaan pun mengikuti arus modernisasi dan bertansformasi menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas tentang pengertian masalah sosial, kriminalitas, teori kejahatan, metodologi, serta analisis dan tanggapan. Berikut pembahasan yang penulis paparkan.
A)    Pengertian
A.1 Pengertian Masalah Sosial
Menurut Soerjono Soekanto (2012: 312), masalah sosial adalah ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jadi penulis mengartikan bahwa yang dimaksud diatas adalah jika terjadi ketidak sesuaian antara unsur dari suatu kebudayaan atau unsur di masyarakat yang berakibat atau memiliki peluang membahayakan kehidupan masyarakat atau kelompok sosial barulah disebut sebagai maslaah sosial. Masalah sosial ini merupakan masalah yang bersifat makro karena sudah dirasakan masyarakat luas.
A.2 Pengertian Kriminalitas
Kata kriminalitas berasal dari bahasa inggris, yaitu crime yang berarti kejahatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kriminalitas diartikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum pidana atau kejahatan. Secara yuridis, kriminalitas atau kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (imoril), merugikan masyarakat, sifatnya asosial dan melanggar hukum serta undang-undang. Sementara, menurut Kartini Kartono (2001: 140), crime atau kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa kriminalitas merupakan suatu bentuk perilaku atau perbuatan yang melanggar hukum pidana sehingga dapat dikenakan sanksi fisik oleh pemerintah atau negara serta perbuatan yang melanggar norma atau nilai di masyarakat yangjuga dapat dikenakan sanksi non fisik oleh masyarakat itu sendiri.
A.3 Pengertian Kota
Kota menurut KBBI adalah kelompok orang-orang dalam jumlah tertentu hidup dan bertempat tinggal bersama dalam suatu wilayah geografis tertentu yang mempunyai pola hubungan rasional, ekonomis dan individualistis. Sementara menurut Bintarto kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan nonalami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Dapat disimpulkan kota adalah, sekelompok orang dalam jumlah tertentu yang mengalamani gejala-gejala pemusatan penduduk dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan mempunyai pola hubungan rasional, ekonomis dan individualis.
A.4 Kesimpulan Pengertian
Berdasakan beberapa definisi di atas, maka kami mendefinisikan masalah sosial kriminalitas perkotaan sebagai sekumpulan tindakan sosial yang terjadi di wilayah perkotaan yang tidak selaras dengan aturan hukum dan norma sosial yang berlaku sehingga menyebabkan adanya kepincangan sosial.

B)     Teori Kejahatan (Kriminalitas)
Berbagai jenis teori muncul sebagai analisis terhadap perilaku kejahatan, namun dari banyaknya teori kejahatan tersebut, ada empat teori yang dirasa lebih berkaitan dengan sudut pandang sosiologi, sebagai berikut.
1)      Teori mazhab sosial
Teori ini menyatakan bahwa faktor penyebab munculnya kejahatan adalah faktor eksternal yaitu lingkungan sosial dan kekuatan-kekuatan sosial. Dalam suatu lingkungan sosial akan selalu ada faktor sosial yang menjadi kecendrungan untuk melakukan kejahatan. Gabriel Tarde dan Emile Durkheim menyatakan bahwa kejahatan itu insiden alamiah, Merupakan gejala sosial yang tidak bisa dihindari dalam revolusi sosial, dimana secara mutlak terdapat satu minimum kebebasan individual untuk berkembang (Kartini Kartono, 2001: 168).
Aristoteles (384-322 SM) dan Thomas aquino (1226-1274M) menyatakan bahwa faktor yang menimbulkan kejahatan adalah kemiskinan. Kemiskinan dan kemelaratan diyakini sebagai sumber timbulnya kejahatan. Kemiskinan kronis mengakibatkan orang berputus asa, sehingga satu-satunya jalan untuk terbebas dari belenggu kesengsaraan adalah melakukan kejahatan.
Pendapat lainnya mengatakan bahwa kejahatan diakibatkan oleh lingkungan sosial yang buruk. Lingkungan sosial merupakan sebuah tempat dimana individu belajar dan beradaptasi. Lingkungan sosial yang buruk memberikan pengaruh-pengaruh eksternal yang mengarah pada kejahatan dan kemudian akan ditiru oleh individu yang bersangkutan. Baik-buruknya suatu lingkungan sosial, memberikan efek terhadap individu yang berada di lingkungan tersebut.
Seperti halnya yang terjadi pada lingkungan sosial terkecil, yaitu keluarga. Keluarga merupakan agen sosialisasi primer yang memberikan fondasi primer mengenai nilai-nilai dan norma-norma sosial. Seorang anak biasanya akan meniru tindakan-tidakan yang dilakuan oleh orang tuanya. Tingkah laku kriminal orang tua bisa saja menular pada anaknya. Sehingga menurut teori ini kejahatan diturunkan bukan melalui gen, melainkan karena adanya proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai.
2)      Teori mazhab bio-sosiologis
Teori ini merupakan kombinasi antara faktor internal dan faktor eksternal, yaitu dimana suatu faktor kejahatan tidak hanya muncul dari individu itu sendiri, melainkan juga karena pengaruh lingkungan sosial terhadap individu tersebut. Ferri menyatakan bahwa kejahatan itu tidak hanya disebabkan oleh konstitusi biologis yang ada pada diri individu saja, akan tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor dan pengaruh-pengaruh eksternal (Kartini Kartono, 2001: 170). Menurutnya kejahatan disebabkan oleh kombinasi dari kondisi individu dan kondisi sosial. Namun, faktor individulah yang paling dominan dalam penentuan pola-pola kriminal.
3)       Teori mazhab spiritualis dengan teori non-religius
Menurut teori ini, agama dan keyakinan merupakan sesuatu yang mempengaruhi pola pikir dan perilaku manusia. Sehingga orang yang memiliki agama dan keyakinan yang kuat akan mampu untuk mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak selaras dengan nilai dan norma agama. Selain itu juga karena agama merupakan salah satu lembaga sosial yang peran sebagai sistem pengendalian sosial (social control).
Orang yang tidak beragama dan tidak mempercayai nilai-nilai keagamaan umumnya sangat egoistis, sangat sombong dan mempunyai harga diri yang berlebihan (Kartini Kartono, 2001: 172). Menganggap bahwa dunia seperti miliknya sendiri dan dapat dimanipulasi dengan semaunya. Egoisme yang ekstrem menimbulkan agresivitas, juga sifat-sifat yang keras yang berakibat pada tindakan asosial atau kejahatan.
Menurut V. Von Gebsattel, semua penderita neurosa itu adalah orang-orang yang kehilangan rasa amannya, serta kehilangan eksistensi kepribadian dan kehidupannya. Maka banyak orang neurotis ini yang suka menggunakan mekanisme pemecahan masalah yang tidak rasional, sehinggal tingkah lakunya jadi immoril. Ketidakpercayaan terhadapa tuhan menimbulkan ketakuatan, kecemasan dan kebingungan yang berakibat pada agresivitas dan tindakan asosial.
4)      Teori Susunan Ketatanegaraan
Negara sebagai asosiasi dan sistem pengendalian sosial dipandang ikut mempengaruhi terjadinya suatu kejahatan. Beberapa filsuf dan negarawan seperti Plato, Aristoteles dan Thomas More memandang bahwa struktur ketatanegaraan dan falsafah negara menentukan ada atau tidaknya suatu kejahatan. Jika susunan negara baik dan pemerintahannya bersih, serta mampu melaksasnakan tugas memerintah rakyat dengan adil, maka kejahatan tidak akan berkembang. Sebaliknya jika pemerintahan korup dan tidak adil, maka banyak orang memenuhi kebutuhannya yang inkonvensional dan kriminal (Kartini Kartono, 2001: 171).
Apabila kesejahteraan bisa dirasakan oleh seluruh warga negara, maka tingkat kejahatan dalam suatu negara akan berkurang. Kemiskinan dan kelaparan disebabkan oleh sistem eksploratif dari pemerintahannya menimbulkan ketidakpuasan dan banyak kejahatan. Selain itu sistem pemerintahan yang longgar memungkinkan aparatur pemerintahannya untuk berbuat korup.



C)    Faktor Penyebab Kriminalitas Perkotaan Secara Sosiologis
Kondisi lingkungan dengan perubahan-perubahan yang cepat, norma-norma dan sanksi sosial yang semakin longgar serta macam-macam sub-kultur dan kebudayaan asing yang saling berkonflik, semua faktor itu memberikan pengaruh yang mengacau; dan memunculkan dis-organisasi dalam masyarakatnya, sehingga muncullah pelbagai jenis kejahatan. Dengan adanya kejahatan tersebut, merupakan tantangan berat bagi para anggota masyarakat. Berikut faktor penyebab kriminalitas perkotaan menurut Harwantiyoko & Neltje F. Katuuk (1991: 88).
1)      Ketidakmampuan beradaptasi dalam menghadapi perubahan sosial
Kemajuan teknologi, industrialisasi, modernisasi dan globalisasi di perkotaan mengakibatkan adanya perubahan sosial dari masyarakat yang kompleks menjadi multi kompleks. Struktur sosial masyarakat perkotaan yang multikompleks menyulitkan seseorang untuk beradaptasi. Hal tersebut menyebabkan kebingungan, kecemasan dan berbagai konflik baik secara eksternal maupun secara internal. Oleh sebab itu, maka munculah tindakan-tindakan yang tidak selaras dengan aturan hukum dan norma sosial yang berlaku di masyarakat tersebut.
Salah satu contohnya adalah seperti kaum Gypsy di Eropa. Mereka berasal dari India dan sekarang dikenal sebagai orang-orang pengutil, kumuh dan malas dan dianggap sebagai sampah kota. Bangsa Gypsy awalnya dikenal sebagai bangsa penghibur yang berkelana menjalankan akrobat dan tarian jalanan sejak abad pertengahan di Eropa barat. Namun, setelah terjadinya revolusi industri, tatanan sosial masyarakat eropa berubah dan kaum Gypsy tidak mampu beradaptasi mengikuti perubahan sosial tersebut. ketika pekerjaan sebagai penghibur seperti burung-burung kenari yang padai berceloteh tidak lagi memperoleh tempat, maka mereka beralih menjadi serigala heyna yang lapar dan liar (Kasali, 2007: 6).
2)      Urbanisasi
Kota sebagai pusat kegiatan pendidikan, sosial, ekonomi dan politik menjadi magnet bagi masyarakat desa untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan di kota. Urbanisasi masyarakat desa ke kota merupakan sebuah masalah sosial. Urbanisasi adalah proses perpindahan penduduk dari desa ke kota. Salah satu penyebab terjadinya urbanisasi adalah kurangnya fasilitas umum yang ada di desa, sementara fasilitas umum di kota lebih lengkap (Prijon, 1997: 15).
Kepentingan dan keinginan seseorang terkadang sejalan dan seirama dengan keinginan dan kepentingan orang lain, tetapi seringkali atau tidak jarang juga terjadi perbedaan dan pertentangan. Muara dari perbedaan dan pertentangan demikian dapat melahirkan perselisihan. Begitupun juga dengan setiap orang yang melakukan urbanisasi. Mereka detang bersama sekelumit kepentingan dan keinginannya ke kota. Namun, terkadang kepentingan dan keinginan tesebut tidak selaras dengan realita atau berbenturan dengan kepentingan yang lain hingga memunculkan konflik.
Dengan demikian, Salah satu dampak negatif dari adanya urbanisasi adalah meningkatnya angka kriminalitas di perkotaan. Gemerlapnya dunia perkotaan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat desa untuk melakukan mobilitas sosial vertikal naik. Namun, ternyata realitas sosial perkotaan tidak semudah yang dibayangkan. Persaingan yang ketat dan diperlukannya keterampilan khusus membuat tantangan utama untuk meraih kesuksesan. Diskrepansi atau ketidaksesuaian antara harapan-harapan dengan realitas sosial perkotaan menimbulkan adanya disorientasi yang memicu untuk bertindak asosial atau anti sosial (Prijon, 1997: 22).
3)      Kemiskinan dan Kesenjangan sosial ekonomi
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Aristoteles dan Thomas Van Aquino yang mengemukakan bahwa kemiskinan menyebabkan terjadinya kejahatan. Kesenjangan ekonomi antar kelas sosial mengakibatkan adanya kecemburuan sosial kelas bawah terhadap kelas atas. Kemelaratan mendorong orang untuk berbuat jahat. Begitupun juga dengan gelandangan dan pengangguran akan menimbulkan kejahatan.
Bahkan dalam suatu hadits juga dikatakan ”Kemiskinan dan kefakiran sering membawa kepada kekafiran dan keingkaran” (HR. Abu Naim). Ali Bin Abi Thalib dengan tegas mengatakan : ”Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku akan membunuhnya.”. Prijono Tjiptoherijanto (1997), menyatakan bahwa ada beberapa alasan penting, mengapa kemiskinan perlu mendapat perhatian untuk ditanggulangi. Pertama, kemiskinan merupakan kondisi yang kurang beruntung karena bagi kaum miskin akses terhadap perubahan politik institusional terbatas. Kedua, kemiskinan merupakan kondisi yang cenderung menjerumuskan orang miskin ke dalam tindak kriminalitas. Ketiga, bagi pembuat kebijaksanaan, kemiskinan itu sendiri mencerminkan kegagalan pelaksanaan pembangunan yang telah dihadapi pada masa lampau.
Robert Chambers (1983) mensinyalir, bahwa inti dari kemiskinan dan kesejangan sebenarnya terletak pada ”deprivation trap” atau ”perangkap kemiskinan”. Deprivation trap terdiri atas lima unsur, yaitu :
a)      kemiskinan itu sendiri,
b)      kelemahan fisik,
c)      keterasingan atau kadar isolasi,
d)     kerentanan, dan
e)      ketidakberdayaan.
4)      Ketatnya persaingan dalam melakukan mobilitas sosial
Ketatnya persaingan dalam melakukan mobilitas sosial vertikal naik menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kriminalitas di perkotaan. Hal tesebut dikarenakan semakin tinggi kedudukan yang ingin di capai, maka biasanya semakin sedikit jumlah jabatan yang tersedia. Di sisi yang lain, semakin tinggi jabatannya maka semakin banyak orang yang ingin menduduki jabatanya.
Persaingan yang ketat dan banyaknya orang yang berambisi megakibatkan probabilitas untuk melakukan mobilitas sosial vertikal naik semakin kecil. Hal tersebut memicu terjadinya tindak kecurangan dalam persaingan. Seperti hal yang terjadi pada seleksi CPNS. Tidak sedikit praktek-praktek kecurangan terjadi di dalamnya dengan cara melakukan penyogokan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Pitirim A. Sorokin dalam Soekanto (2012: 222), ada beberapa saluran dalam melakukan mobilitas sosial, yaitu:
a)      angkatan bersenjata,
b)      lembaga keagamaan,
c)      sekolah,
d)     organisasi politik,
e)      ekonomi dan
f)       keahlian.
5)      Disorganisasi keluarga
Disorganisasi keluarga merupakan salah satu masalah sosial yang sering terjadi pada masyarakat perkotaan. Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kebajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya (Soekanto, 2012: 326). Misalnya seorang suami sebagai kepala keluarga gagal memenuhi kewajiban untuk menafkahi keluarganya sehingga terjadilah disorganisasi keluarga. Atau pada kasus lain seorang ibu tidak melakukan perannya sebagaimana mestinya sehingga karena kesibukan bekerja, kedua orang tua lupa untuk menjalankan tugasnya sebagai agen sosialisasi nilai dan norma sosial.
6)      Pola pikir masyarakat kota yang materialistis dan lebih mementingkan nilai ekonomis
Pola pikir masyarakat perkotaan yang materialistis dan lebih mementingkan nilai ekonomis membuat hubungan sosial antara anggota masyarakatnya sangat renggang. Hal tersebut menumbuhkan sikap acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain dan sikap individualistis. Sehingga perilaku tolong-menolong di masyarakat kota sangat rendah. Konsep tolong-menolong dalam masyarakat kota yang materialistis tidak lagi dipandang sebagai suatu hal yang penting karena tidak bernilai ekonomis.
Keengganan masyarakat kelas ekonomi atas untuk menolong masyarakat yang miskin menimbulkan kebencian sosial kelas bawah terhadap kelas atas dan berujung pada tindak kriminal. Kebutuhan pokok akan pangan yang tidak terpenuhi mendorong seseorang untuk melakukan aksi pencuruian, pencopetan dan perampokan.
7)      Heterogenitas Masyarakat Perkotaan
Keanekaragaman masyarakat perkotaan bisa dilihiat dari segi mata pencahariannya, agamanya dan asal budayanya. Perbedaan-perbedaan tersebut menimbulkan adanya ketidaksamaan persepsi dalam menentukan nilai-nilai sosial, sehingga berdampak pada timbulnya konflik antar golongan. Konflik yang paling sering terjadi biasanya diakibatkan oleh adanya perbedaan latar belakang agama dan latar budaya yang disertai sikap primordialisme dan sikap tidak toleran.
8)      Memudarnya nilai dan norma agama
Agama sebagai pranata sosial dalam masyarakat mempunyai beberapa fungsi pokok untuk memenuhi kebutuhan manusia, yaitu:
a)      Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku dalam menghadapi segala sesuatu permasahan yang terjadi di masyarakat;
b)      Menjaga keharmonisan dan keselarasan di masyarakat;
c)      Memberikan pegangan kepada masyarakat dalam rangka mengadakan sistem pengendalian sosial (social control).
Agama memperkenalkan nilai-nilai absolut dan nilai-nilai kemanusiaan yag luhur, yang besar sekali artinya bagi pengendalian diri dan penghindaran diri dari perbuatan angkara serta durjana (Kartini Kartono, 2003: 173). Agama berfungsi sebagai kontrol sosial (social control) perilaku anggotanya agar menghindarkan diri dari segala sesuatu perbutan yang merugikan orang lain seperti kejahatan. Internalisasi nilai-nilai agama akan menjadi sangat penting dalam menciptakan keselarasan dan keharmonisan bermasyarakat.
Namun seiring dengan arus perubahan sosial yang terjadi di masyarakat perkotaan, kesadaran akan pentingnya menjaga nilai dan norma sosial agama mulai memudar. Pergeseran paradigma tersebut mengakibatkan terjadinya anomi. Sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh Durkheim (1897) dalam Horton, Paul B & Chester L. Hunt (1999: 97), anomi adalah suatu situasi tanpa norma dan tanpa arah sehingga tidak tercipta keselarasan antara kenyataan yang diharapkan dan kenyataan sosial yang ada. Jadi ketika nilai-nilai dan norma-norma agama sudah ditinggalkan, maka cara-cara untuk mencapai tujuan akan dilakukan dengan cara yang menyimpang.

D)    Jenis Kriminalitas Perkotaan
Efek negatif yang timbul sebagai akibat makin meningkatkan aksi kejahatan di dalam masyarakat, menurut Kartini Kartono (2003: 173) adalah : “(a) Kejahatan yang bertubi-tubi itu memberikan efek yang mendemoralisir/merusak terhadap orde sosial; (b) Menimbulkan rasa tidak aman, kecemasan, ketakutan dan kepanikan di tengah masyarakat; (c) Banyak materi dan energi terbuang dengan sia-sia oleh gangguan- gangguan kriminalitas; dan (d) Menambah beban ekonomis yang semakin besar kepada sebagian besar warga masyarakatnya.” 12 Kriminalitas di perkotaan secara garis besar dapat dibagi kedalam empat kategori, yaitu:
1)      Kejahatan Ekonomi
Kejahatan Ekonomi adalah kegiatan-kegiatan ekonomi yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sehingga mengakibatkan adanya kerugian bagi orang lain. Contoh kejahatan-kejahatan ini adalah perdagangan barang-barang terlarang, monopoli dan penimbunan.
2)      Kejahatan Politik
Kejahatan Politik adalah tindakan-tindakan sosial yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dalam melakukan kegian politik. Contoh dari kejahatan jenis ini adalah korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan wewenang, black campaign, dan lain-lain.
3)      Kejahatan Kesusialaan
Kejahatan Kesusilaan adalah tindakan-tindakan yang tidak beradab dan tidak sesuai dengan norma sosial masyarakat. contohnya adalah kasus-kasus pelecehan seksual seperti pemerkosaan dan pencabulan.
4)      Kejahatan Terhadap Jiwa dan Harta benda
Kejahatan terhadap jiwa dan harta benda adalah tindak-tindakan yang merusak atau menghilangkan jiwa orang lain dan pengambilan harta benda milik orang lain dengan jalan yang dilarang oleh aturan hukum. Contohnya seperti pembunuhan, pencurian dan perampokan.

E)    Upaya Penanggulangan
Upaya yang dilakukan dalam rangka menanggulangi permasalahan sosial mengenai kriminalitas di tengah-tengah masyarakat perkotaan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tindakan preventif dan tindakan represif. Tindakan preventif adalah upaya pencegahan agar kejahatan tidak terjadi sedangkan tindakan represif adalah upaya penyembuhan kembali agar pelaku kriminal merasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya (Ramdani, 2007: 54).
Tidakan preventif antara lain:
1)      Meningkatkan kualitas SDM
2)      Menekan arus urbanisasi
3)      Memperendah tingkat kesenjangan ekonomi
4)      Internalisai nilai-nilai agama
5)      Meningkatkan sikap toleransi masyarakat
Tindakan represif antara lain:
1)      Penegakan hukum
2)      Gosip
3)      Pengasingan dari lingkungan sosial























BAB III
PENUTUP
A)    Kesimpulan
1)      Masalah sosial kriminalitas perkotaan adalah sekumpulan tindakan sosial yang terjadi di wilayah perkotaan yang tidak selaras dengan aturan hukum dan norma sosial yang berlaku sehingga menyebabkan adanya kepincangan sosial.
2)      Teori kriminal yang berdasarkan sudut pandang sosial ada tiga mazhab, yaitu mazhab sosial, mazhab bio-sosiologis dan mazhab religius.
3)      Faktor sosial penyebab kriminalitas perkotaan adalah :
a)      Ketidakmampuan beradaptasi dalam menghadapi perubahan sosial
b)      Urbanisasi
c)      Kemiskinan dan Kesenjangan sosial ekonomi
d)     Ketatnya persaingan dalam melakukan mobilitas sosial
e)      Disorganisasi Keluarga
f)       Pola pikir masyarakat kota yang materialistis dan lebih mementingkan nilai ekonomis
g)      Heterogenitas Masyarakat Perkotaan
h)      Memudarnya kesadaran akan pentingnya nilai dan norma agama
4)      Kejahatan terbagi keladam 4 macam, yaitu kejahatan ekonomi, kejahatan politik, kehatan asusila dan kejahatan jiwa dan harta benda.
5)      Upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu preventif (pencegahan) dan represif (pemberian efek jera).

B)    Saran
Upaya pencegahan terjadinya kejahatan harus lebih ditingkatkan oleh pemerintah dan seluruh elemen masyarakat sehingga dapat meminimalisir terjadinya tindakan asosial atau kejahatan. Selain itu diharapkan timbulnya kesadaran sosial masyarakat agar taat hukum, aturan, dan norma sehingga tingkat kriminalitas dapat terus ditekan terutama didaerah perkotaan. Pemerintah dalam hal ini juga perlu membenahi fasilitas dan aturan terkait kependudukan demi kenyamanan sehingga tidak terjadi putus asa dalam menjalani kehidupan di kota.
DAFTAR PUSTAKA

Harwantiyoko & Neltje F. Katuuk. 1991. Pengantar Ilmu Sosiologi dan Ilmu Sosial Dasar. Gunadarma,
Horton, Paul B & Chester L. Hunt. 1999. Sosiologi (terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari). Jakarta: Erlangga,
Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Kasali, Rhenald. 2007. Re-code your change DNA. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prijono Tjiptoherijanto. 1997. Migrasi Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press,
Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Wahyu, Ramdani. 2007. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka Setia.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) BANYUWANGI - SECARA UMUM

PERMASALAHAN PEMBELAJARAN GEOGRAFI DALAM KURIKULUM 2013