RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) BANYUWANGI - SECARA UMUM
RENCANA
TATA RUANG WILAYAH DAN LIMA PILAR PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN BANYUWANGI
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Geografi Pengembangan Wilayah
Yang dibina oleh Bapak Ardyanto Tanjung
Oleh
Teguh Dwi Imanda 140721600590
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU
SOSIAL
JURUSAN GEOGRAFI
S1 PENDIDIKAN
GEOGRAFI
April 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A)
LATAR BELAKANG
Kabupaten
Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibu
kotanya adalah Banyuwangi. Kabupaten ini terletak di ujung paling timur pulau
Jawa, di kawasan Tapal Kuda, dan berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di
sebelah Utara, Selat Bali di sebelah Timur, Samudra Hindia di Selatan serta
Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso di sebelah Barat. Kabupaten Banyuwangi
merupakan kabupaten terluas di Jawa Timur sekaligus menjadi yang terluas di
Pulau Jawa, dengan luas wilayahnya yang mencapai 5.782,50 km2, atau lebih luas
dari Pulau Bali (5.636,66 km2). Di pesisir Kabupaten Banyuwangi bagian Utara
terdapat Pelabuhan Ketapang, yang merupakan perhubungan utama antara pulau Jawa
dengan pulau Bali (Pelabuhan Gilimanuk).
Kabupaten
Banyuwangi yang secara geografis terletak pada koordinat 7º45’15”–80 43’2” LS
dan 113º38’10” BT. Wilayah kabupaten Banyuwangi cukup beragam, dari dataran
rendah hingga pegunungan dapat kita jumpai. Kabupaten Banyuwangi memiliki
beberapa potensi biofisik ekosistem seperti pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, serta pada sektor pariwisata yang menunjang pengembangan
wilayah kabupaten Banyuwangi. Wilayah yang berbatasan dengan kabupaten
Bondowoso terdapat rangkaian Dataran Tinggi Ijen dengan puncaknya Gunung Raung
(3.344 mdpl) dan Gunung Merapi (2.799 mdpl). Di balik Gunung Merapi terdapat
Gunung Ijen yang terkenal dengan kawahnya. Bagian selatan terdapat perkebunan,
peninggalan sejak zaman Hindia Belanda. Wilayah yang berbatasan dengan
Kabupaten Jember bagian selatan merupakan kawasan konservasi yang kini
dilindungi dalam sebuah cagar alam, yakni Taman Nasional Meru Betiri. Pantai
Sukamade merupakan kawasan pengembangan penyu. Di Semenanjung Blambangan juga
terdapat cagar alam, yaitu Taman Nasional Alas Purwo.
Banyuwangi
mengalami perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini membuat
Banyuwangi semakin terkenal baik domestik maupun internasional. Pembangunan
sarana dan prasarana yang mempercantik Kabupaten juga terus dilaksanakan.
Wisata Banyuwangi juga tidak kalah karena terus dipromosikan ke luar daerah
sampai ke luar negeri melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan turis
mancanegara maupun domestik. Perkembangan wilayah Banyuwangi ini lah yang
membuat Banyuwangi menjadi Kabupaten yang mengalami kemajuan pesat dalam
beberapa tahun terakhir.
B)
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana ruang dalam pengembangan wilayah Kabupaten
Banyuwangi?
2. Bagaimana biofisik ekosistem Kabupaten Banyuwangi
dan pengaruhnya dalam pengembangan wilayah?
3. Bagaimana sosial ekonomi Kabupaten Banyuwangi dan
pengaruhnya dalam pengembangan wilayah?
4. Bagaimana sosial budaya Kabupaten Banyuwangi dan
pengaruhnya dalam pengembangan wilayah?
5. Bagaimana sosial politik Kabupaten Banyuwangi dan
pengaruhnya dalam pengembangan wilayah?
6. Bagaimana rencana tata ruang wilayah Kabupaten
Banyuwangi?
C)
TUJUAN
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, tujuan pembuatan makalah ini sebagai berikut.
1. Mengetahui ruang dalam pengembangan wilayah
Kabupaten Banyuwangi.
2. Mengetahui biofisik ekosistem Kabupaten Banyuwangi
dan pengaruhnya dalam pengembangan wilayah.
3. Memahami sosial ekonomi Kabupaten Banyuwangi dan
pengaruhnya dalam pengembangan wilayah.
4. Memahami sosial budaya Kabupaten Banyuwangi dan
pengaruhnya dalam pengembangan wilayah.
5. Memahami sosial politik Kabupaten Banyuwangi dan
pengaruhnya dalam pengembangan wilayah.
6. Mengetahui rencana tata ruang wilayah Kabupaten
Banyuwangi.
BAB II
KAJIAN TEORI
A)
PENGERTIAN WILAYAH
Istilah
wilayah mengacu pada pengertian unit geografis didefinisikan sebagai suatu unit
geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen didalamnya
memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan yang lainnya, dimana
komponen-komponen tersebut memiliki arti di dalam pendiskripsian perencanaan
dan pengolaan sumberdaya pembangunan. Wilayah adalah ruang yang merupakan
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional
(UU Nomor 24 Tahun 1992: Penataan Ruang). Dari definisi tersebut, terlihat
bahwa tidak ada batasan spesifik dari luasan suatu wilayah, batasan yang ada
lebih bersifat meaningfull untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring,
pengendalian, maupun evaluasi, dengan demikian batasan wilayah tidaklah selalu
bersifat fisik dan pasti tetapi lebih bersifat dinamis.
Konsep
wilayah menurut Richadson, (1969) dalam Darmawati dkk (2015) membagi wilayah
kedalam tiga katagori atau sering dikenal dengan tipologi wilayah yaitu : (1)
Wilayah Homogen (uniform atau homogeneous region), (2) Wilayah nodal , dan
(3)Wilayah Perencanaaan (planning region). Cara klasifikasi konsep wilayah ini
teryata kurang mampu menjelaskan keragaman konsep wilayah yang ada. Blair
(1991), memandang konsep wilayah nodal terlalu sempit untuk menjelaskan
fenomena yang ada dan cenderung menggunakan konsep fingsional. Sedangkan
menurut Ernan rustiadi dkk. (2011) kerangka konsep wilayah yang lebih mampu
menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah : (1)
wilayah homogeny (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan
( planning region atau programing region). Dalam pendekatan klasifikasi konsep
wilayah ini, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk konsep wilayah
sistem. Sedangkan dalam kelompok konsep wilayahperencanaan terdapat konsep wilayah
administratif-politis dan konsep wilayah fungsional (Darmawati, dkk: 2015).
Pada
dasarnya pembagian wilayah dimaksudkan untuk mempermudah dalam pengelolaannya,
sehingga kedepannya dapat membantu dalam upaya pengembangan wilayah tersebut.
Prinsip dasar pengembangan wilayah adalah untuk mengatasi ketimpangan
perkembangan baik secara fisik maupun non fisik di suatu wilayah,selain itu
pembagian wilayah dimaksudkan untuk memberikan kesempatan lebih bagi suatu
wilayah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, sehingga di wilayah tesebut
muncul pusat-pusat pertumbuhan yang dapat mendorong proses pembangunan di
wilayah tersebut.
B)
TEORI-TEORI DASAR PENGEMBANGAN WILAYAH
Dalam
banyak kepustakaan tentang pembangunan, terdapat beberapa pendekatan dan teori.
Menyebut beberapa diantaranya adalah growth
theory, rural development theory, agro first theory, basic needs theory,
dan lain sebagainya. Teori-teori pembangunan itu memuat berbagai pendekatan
ilmu sosial yang berusaha menangani masalah keterbelakangan. Salah satu teori
pembangunan wilayah adalah pertumbuhan tak berimbang (unbalanced growth) yang dikembangkan oleh Hirscham dan Myrdal.
Pengembangan wilayah merupakan proses perumusan dan pengimplementasian
tujuan-tujuan pembangunan dalam skala supra urban.
Pembangunan
wilayah pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan sumber daya alam secara
optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, yaitu berdasarkan kepada kegiatan
ekonomi dasar yang terjadi pada suatu wilayah. Sesungguhnya teori pembangunan
terkait erat dengan strategi pembangunan, yakni perubahan struktur ekonomi dan
pranata sosial yang diupayakan untuk menemukan solusi yang konsisten bagi
persoalan yang dihadapi. Berbagai pendekatan menyangkut tema-tema kajian
tentang pembangunan, satu diantaranya adalah mengenai isu pembangunan wilayah.
Secara luas, pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan
mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program
pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan
aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan
berkelanjutan.
1.
Teori Sektor
Teori
ini berkaitan erat dengan perubahan relatif pentingnya sektor-sektor ekonomi di
mana laju perubahannya dijadikan indikator kemajuan ekonomi suatu wilayah.
Adapun dasar bagi terjadinya perubahan, dapat dilihat pada sisi permintaan dan
penawaran. Pada sisi permintaan, elastisitas pendapatan dan permintaan bagi
barang dan jasa yang ditawarkan oleh industri dan aktivitas jasa adalah lebih
tinggi daripada bagi proyek pertanian, sehingga adanya peningkatan pendapatan
akan diikuti oleh pengalihan relative sumber-sumber dari sektor-sektor
pertanian ke sektor industri dan jasa. Pada sisi penawaran, pengalihan tenaga
kerja dan modal terjadi akibat adanya perbedaan tingkat pertumbuhan
produktivitas dalam sektor-sektor ekonomi tersebut. Jadi teori sektor
menekankan pada adanya perubahan internal daripada adanya hubungan atau
perubahan eksternal seperti teori basis ekspor. Namun sebagai suatu teori yang
menjelaskan pertumbuhan, ia tidak memadai oleh karena tidak menawarkan
pemahaman tentang penyebab dari pertambahan itu.
2.
Teori Pusat Pertumbuhan
Theory
growth poles adalah salah satu teori yang dapat menggabungkan antara
prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara sekaligus (Mulyadi:
2014). Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat untuk
mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu
pertumbuhan dan pemerataan pembangunan keseluruh pelosok daerah. Selain itu
teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan
wilayah dan perkotaan tepadu.
Konsep
pusat pertumbuhan diperkenalkan pada tahun 1949 oleh Fancois Perroux yang
mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal
dan tarikan gaya sentripetal”. Menurut Rondinelli dan Unwin dalam Mulyadi (2014)
bahwa teori pusat pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di
negara berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota.
Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar
bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetesan ke
bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi
dari perkotaan ke pedesaan. Menurut Stohr dalam Mulyadi (2014), konsep pusat
pertumbuhan mengacu pada pandangan ekonomi neo-klasik. Pembangunan dapat
dimulai hanya dalam beberapa sektor yang dinamis, mampu memberikan output rasio
yang tinggi dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas
(spread effect) dan dampak ganda (multiple effect) pada sektor lain dan wilayah
yang lebih luas. Sehingga pembangunan sinonim dengan urbanisasi (pembangunan di
wilayah perkotaan) dan industrialisasi (hanya pada sektor industri). Pandangan
ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin ekuilibrium
(keseimbangan) dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect
atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di
perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan
ke kawasan yang lebih rendah seperti kawasan hinterland dan perdesaan melalui
beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar.
Namun demikian kegagalan teori pusat pertumbuhan karena trickle down effect
(dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) tidak terjadi
yang diakibatkan karena aktivitas industri tidak mempunyai hubungan dengan
basis sumberdaya di wilayah hinterland. Selain itu respon pertumbuhan di pusat
tidak cukup menjangkau wilayah hinterland karena hanya untuk melengkapi
kepentingan hirarki kota.
C)
RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW)
Sesuai
dengan UU 24/1992 tentang penataan ruang, sistem perencanaan tata ruang wilayah
diselenggarakan secara berhirarkis menurut kewenangan administratif, yakni
dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota serta
rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci. RTRWN disusun dengan memperhatikan
wilayah Nasional sebagai satu kesatuan wilayah yang lebih lanjut dijabarkan
kedalam strategi serta struktur dan pola pemanfaatan ruang pada wilayah
propinsi (RTRWP), termasuk di dalamnya penetapan sejumlah kawasan tertentu dan
kawasan andalan yang diprioritaskan penanganannya.
Aspek
teknis perencanaan tata ruang wilayah dibedakan berdasarkan hirarki rencana.
RTRWN merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang
dengan horizon
waktu hingga 25 - 50 tahun ke depan dengan menggunakan skala
ketelitian 1 :
1,000,000. RTRW Propinsi merupakan perencanaan makro strategis
jangka menengah
dengan horizon waktu 15 tahun pada skala ketelitian 1 : 250,000. Sementara,
RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan mikro
operasional
jangka menengah (5-10 tahun) dengan skala ketelitian 1 : 20,000 hingga 100,000,
yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana rinci yang bersifat mikro-operasional
jangka pendek dengan skala ketelitian dibawah 1 : 5,000. Dalam kaitannya dengan
pengembangan sistem permukiman, maka didalam RTRWN sendiri telah ditetapkan
fungsi kota-kota secara nasional berdasarkan kriteria tertentu (administratif,
ekonomi, dukungan prasarana, maupun kriteria strategis lainnya) yakni sebagai
Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan
Lokal (PKL). Untuk mewujudkan fungsi fungsi kota sebagaimana ditetapkan dalam
RTRWN secara bertahap dan sistematis.
1.
RTRW Kabupaten Banyuwangi
Berdasarkan
peraturan daerah Kabupaten Banyuwangi nomor 08 tahun 2012 tentang rencana tata
ruang wilayah kabupaten banyuwangi tahun 2012-2032 Tujuan Penataan Ruang
Wilayah Kabupaten Pasal 6 Penataan ruang wilayah Kabupaten bertujuan mewujudkan
ruang Kabupaten berbasis pertanian bersinergi dengan pengembangan perikanan,
pariwisata, industri, perdagangan dan jasa yang berdaya saing dan
berkelanjutan. Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 7 yaitu (1)
Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 disusun kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten. (2) Kebijakan penataan
ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
Pengembangan
kawasan pertanian;
b.
Pengembangan
kawasan perikanan;
c.
Pengembangan
kawasan pariwisata terpadu berbasis potensi wisata alam, wisata budaya, dan
wisata buatan;
d.
Pengembangan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi perdesaan dan perkotaan yang menunjang sistem
pemasaran hasil pertanian, perikanan, pariwisata, industri, perdagangan, dan
jasa;
e.
Penataan sektor
informal;
f.
Pengembangan
sistem jaringan prasarana wilayah yang mendukung kawasan pertanian, perikanan,
pariwisata, industri, perdagangan dan jasa, kawasan pemerintahan, pertahanan
dan keamanan, serta pelayanan dasar masyarakat;
g.
Pengembangan
kawasan strategis kabupaten;
h.
Pengelolaan
wilayah yang memperhatikan daya dukung lahan, daya tampung kawasan dan aspek
konservasi sumber daya alam;
i.
Pengembangan
kawasan budidaya dengan menumbuhkan kearifan lokal dan memperhatikan aspek
ekologis;
j.
Pengendalian dan
pelestarian kawasan lindung;
k.
pengendalian
kawasan rawan bencana alam; dan
l.
Peningkatan
fungsi kawasan untuk Pertahanan dan Keamanan Negara
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif dan evaluatif. Metode
deskriptif merupakan suatu metode analisis yang digunakan untuk melukiskan atau
menggambarkan segenap fakta atau karakteristik populasi tertentu secara
sistematis, aktual, dan cermat (Arikunto 2006:239) dan kepustakaan (study
literature), yaitu salah satu metode penelitian yang menggunakan telaah pustaka
dengan melakukan proses pencarian referensi teori yang relefan dengan kasus
atau permasalahan yang ditemukan dan pengumpulan dokumen, dengan menggunakan
media baca sebagai sumber data dan informasi (M. Ungguh, Jasa 2010:24).
Ruang
lingkup wilayah yang dipergunakan adalah Kabupaten Banyuwangi. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut
diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyuwangi, BAPPEDA
Banyuwangi, rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuwangi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam
bab ini akan membahas mengenai lima pilar pengembangan wilayah menurut Sasmita
dan Kuntjoroningrat yang meliputi ruang, biofisik ekosistem, sosial ekonomi,
sosial budaya, dan sosial politik serta menjelaskan secara sederhana rencana
tata ruang Kabupaten Banyuwangi. Selanjutnya akan dibahas mengenai perkembangan
Kabupaten Banyuwangi berdasarkan rencana tata ruang Kabupaten Banyuwangi.
Berikut pembahasan yang penulis paparkan.
A)
RUANG KABUPATEN BANYUWANGI
Dalam
pilar pengembangan wilayah ruang ini dibagi menjadi dua yaitu ruang absolut dan
relatif. Ruang absolut membahas mengenai titik koordinat suatu wilayah,
sementara ruang relatif membahas mengenai letak rumah yang lebih deskriptif.
Ruang atau space ini akan
mempengaruhi pilar-pilar yang lainnya karena tanpa disadari antara satu pilar
dengan pilar lainnya adalah satu kesatuan yang saling berkesinambungan.
Berdasarkan
ruang absolut atau garis batas koordinatnya, posisi Kabupaten Banyuwangi
terletak diantara 70 43’ - 80 46’ Lintang Selatan dan 1130 53’ – 1140 38’ Bujur
Timur. Sementara menurut ruang relatif,
batas wilayah Kabupaten Banyuwangi sebelah utara adalah Kabupaten Situbondo,
sebelah timur adalah Selat Bali, sebelah selatan adalah Samudera Indonesia dan
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso.
B)
BIOFISIK EKOSISTEM KABUPATEN BANYUWANGI
Secara
umum biofisik ekosistem ini membahas mengenai makhluk hidup yaitu manusia dan alam.
Dalam pembahasan manusia atau demografi berfokokus pada kuantitas dan kualitas
demografi itu sendiri. Sementara dalam alam membahas tentang persebaran alam
pada suatu daerah tertentu.
1.
Demografi
Berdasarkan
sensus penduduk tahun 2010, penduduk Kabupaten Banyuwangi pada tahun2010 sejumlah
1.554.997 jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata selama sepuluh tahun terakhir
(2000-2010) sebesar 0,44% dan tingkat kepadatan penduduk sebesar 269 jiwa/km2.
Meskipun penduduk Kabupaten Banyuwangi belum tergolong padat, namun pertumbuhannya
harus dikendalikan agar terpelihara keseimbangannya dengan daya dukung wilayah.
Dari
hasil Sensus Penduduk 2010, masih tampak bahwa penyebaran penduduk Kabupaten
Banyuwangi masih tertumpu di Kecamatan Muncar yakni sebesar 8,2 persen,
kemudian diikuti oleh Kecamatan Banyuwangi sebesar 6,8 persen, Kecamatan
Rogojampi sebesar 5,9 persen, Kecamatan Srono sebesar 5,6 persen, Kecamatan
Genteng sebesar 5,3 persen dan kecamatan lainnya di bawah 5 persen. Kecamatan
Licin, Glagah dan Giri adalah 3 kecamatan dengan urutan terbawah yang memiliki
jumlah penduduk paling sedikit yang masing-masing berjumlah 27.993 orang,
28.295 orang dan 33.984 orang. Sedangkan Kecamatan Muncar dan Banyuwangi
merupakan kecamatan yang paling banyak penduduknya di Kabupaten Banyuwangi,
yakni masing-masing sebanyak 127.919 orang dan 106.112 orang.
Sex
ratio penduduk Kabupaten Banyuwangi adalah sebesar 99, yang artinya jumlah
penduduk perempuan 1 persen lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk
laki-laki, atau setiap 100 perempuan terdapat 99 laki-laki. Sex ratio terbesar
terdapat di Kecamatan Giri yakni sebesar 104 dan yang terkecil terdapat di Kecamatan
Glagah yakni sebesar 95. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Banyuwangi per
tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 0,44
persen. Laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Kalipuro adalah yang tertinggi dibandingkan
kecamatan lain di Kabupaten Banyuwangi yakni sebesar 1,72 persen, sedangkan
yang terendah di Kecamatan Singojuruh yakni sebesar -0,17 persen. Kecamatan
Muncar menempati urutan pertama dari jumlah penduduk di Kabupaten Banyuwangi
dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,46 persen.
2.
Alam
Kabupaten
Banyuwangi memiliki luas wilayah 5.782,50 km2. Banyuwangi masih merupakan
daerah kawasan hutan karena besaran wilayah yang termasuk kawasan hutan lebih
banyak kalau dibandingkan kawasankawasan lainnya. Area kawasan hutan mencapai
183.396,34 ha atau sekitar 31,62%; daerah persawahan sekitar 66.152 ha atau
11,44%; perkebunan dengan luas sekitar 82.143,63 ha atau 14,21%; sedangkan yang
dimanfaatkan sebagai daerah permukiman mencapai luas sekitar 127.454,22 ha atau
22,04%. Sisanya telah dipergunakan oleh penduduk Kabupaten Banyuwangi dengan
berbagai manfaat yang ada, seperti jalan, ladang dan lain-lainnya.Selain
penggunaan luas daerah yang demikian itu, Kabupaten Banyuwangi memiliki panjang
garis pantai sekitar 175,8 km, serta jumlah Pulau ada 13 buah. Seluruh wilayah
tersebut telah memberikan manfaat besar bagi kemajuan ekonomi penduduk Kabupaten
Banyuwangi.
Secara
geografis Kabupaten Banyuwangi terletak di ujung timur Pulau Jawa. Wilayah
daratannya terdiri atas dataran tinggi berupa pegunungan yang merupakan daerah
penghasil produk perkebunan; dan dataran rendah dengan berbagai potensi produk
hasil pertanian serta daerah sekitar garis pantai yang membujur dari arah utara
ke selatan yang merupakan daerah penghasil berbagai biota laut.
Topografi
wilayah daratan Kabupaten Banyuwangi bagian barat dan utara pada umumnya
merupakan pegunungan, dan bagian selatan sebagian besar merupakan dataran
rendah. Tingkat kemiringan rata-rata pada wilayah bagian barat dan utara 400,
dengan rata-rata curah hujan lebih tinggi bila dibanding dengan bagian wilayah
lainnya. Daratan yang datar sebagian besar mempunyai tingkat kemiringan kurang
dari 150, dengan rata-rata curah hujan cukup memadai sehingga bisa menambah
tingkat kesuburan tanah. Dataran rendah yang terbentang luas dari selatan
hingga utara dimana di dalamnya terdapat banyak sungai yang selalu mengalir di
sepanjang tahun. Di Kabupaten Banyuwangi tercatat 35 DAS, sehingga disamping
dapat mengairi hamparan sawah yang sangat luas juga berpengaruh positif
terhadap tingkat kesuburan tanah.
C)
SOSIAL EKONOMI KABUPATEN BANYUWANGI
Kondisi
perekonomian daerah secara makro di Kabupaten Banyuwangi dari tahun 2005 hingga
2010 menunjukkan pergerakan yang stabil. Hal ini dapat ditunjukkan adanya
pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun 2005 sebesar 4,58% menjadi 5,07%
pada tahun 2006, menjadi 5,59% pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 5,76% pada
tahun 2008. Pada tahun krisis keuangan global yang tengah berlangsung sehingga
menyebabkan macetnya sistem keuangan dunia sehingga menyebabkan merosotnya
aktivitas ekonomi dan perdagangan dunia. Pertumbuhan ekonomi dunia melambat dan
volume perdagangan dunia hingga tahun 2009 terus merosot. Kelesuan perekonomian
global yang juga menerpa perekonomian Indonesia juga memberikan dampak pada
perlambatan perekonomian di Kabupaten Banyuwangi. Akibat melemahnya nilai tukar
rupiah yang dibarengi dengan kenaikan inflasi telah menyebabkan berkurangnya
daya beli masyarakat terutama di perkotaan. Di Kabupaten Banyuwangi,
pertumbuhan ekonomi tahun 2009 merosot menjadi sebesar 5,39%.Meskipun demikian
terpaan krisis telah menunjukkan perekonomian Banyuwangi tetap bertahan sehingga
tidak sampai pada posisi stagnan atau minus. Hal ini disebabkan bahwa
perekonomian di Kabupaten Banyuwangi lebih banyak ditopang oleh sektor riil.
Perkembangan perekonomian di Kabupaten Banyuwangi juga dapat ditunjukkan oleh perkembangan
Produk Domestik Regional Bruto Angka Dasar Harga Konstan pada tahun 2000 (PDRB
ADHK). Sejak tahun2006 hingga 2010, PDRB ADHK Kabupaten Banyuwangi mengalami
peningkatan yang signifikan dari tahun 2005 sebesar Rp 8,39 trilyun meningkat menjadi
Rp 8,8 trilyunpada tahun 2007 dan menjadi Rp 11,082 rupiah pada tahun 2010.
Perkembangan
perekonomian di Kabupaten Banyuwangi tidak terlepas dari perkembangan ekonomi
nasional yang sangat dipengaruhi perekonomian dunia. Resesi ekonomi di berbagai
belahan dunia berimbas pula ke termasuk Indonesia. Terdapat pengaruh bagi kondisi
perekonomian Banyuwangi meskipun tidak signifikan. Hal ini disebabkan kondisi
perekonomian di Kabupaten Banyuwangi lebih banyak ditopang oleh sektor riil.
Krisis ekonomi yang terjadi tidak memberikan pengaruh langsung bagi usaha
mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi. Di samping itu, kurangnya
pengaruh disebabkan keterkaitan antara UMKM dan koperasi dengan perekonomian global
yang masih sangat terbatas. Orientasi sebagian besar UMKM dan koperasi pada
pasar lokal menyebabkan UMKM dan koperasi relatif lebih bisa bertahan dalam
kondisi krisis ekonomi saat ini. Berdasarkan data BPS terdapat 96,2% UMKM yang
tidak berbadan hukum dan bergerak di sektor-sektor non pertanian yang masih
memasarkan produknya hanya sebatas di dalam wilayah kabupaten. Sisanya
memasarkan produknya antar provinsi (2,4%) dan antar negara (0,13%). Kondisi
ini terkait dengan jenis dan kualitas produk dan jasa yang disediakan oleh UMKM
dan koperasi yang pada umumnya baru bisa menjangkau standar dan konsumen di
pasar lokal dan regional.
Angka
kemiskinan di Kabupaten Banyuwangi mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Berdasar PSE tahun 2005, jumlah penduduk miskin di Kabupaten
Banyuwangi adalah sebanyak 463.196 atau sejumlah 157.347 RTM. Selanjutnya
adapun berdasarkan hasil PPLS tahun 2008, jumlah Rumah Tangga miskin di
Kabupaten Banyuwangi sebesar 129.324 keluarga dengan jumlah penduduk miskin
sebesar 312.395 jiwa.
Pertumbuhan
ekonomi yang stabil tersebut terutama ditopang oleh sektor perdagangan, hotel,
dan restoran yang mampu tumbuh rata-rata diatas 7% setiap tahunnya. Pada tahun
2006, sektor ini yang hanya tumbuh 7,28%,meningkat secara signifikan menjadi
7,49% pada tahun 2008, dan menjadi 8,35%tahun 2010. Sementara sektor paling
besar yang menopang adalah sektor pertanian yang mempunyai kontribusi paling
besar sejak beberapa tahun terakhir. Namun demikian sektor ini tumbuh berada
dibawah pertumbuhan ekonomi Kabupaten. Pada tahun 2006, sektor ini tumbuh sebesar
4,62%,pada tahun 2007 sebesar 5,47, dan meningkat menjadi 6,49% tahun 2010.
Meskipun pertumbuhannya tidak signifikan namun sektor ini tetap menjadi sektor
paling dominan dengan angka tiap tahunnya mendekati 50% atau separo nilai PDRB
total Kabupaten Banyuwangi.
Dari
sisi produksi, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh Sektor Pertanian
mempunyai peran sektoral PDRB yang paling besar mencapai diatas 49%, yang
diikuti oleh Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran. Pada tahun 2006, kontribusi
sektor pertanian mencapai 49,59%, pada tahun 2007 sebesar 49,53%, pada tahun
2008 menjadi sebesar 49,28%, pada tahun 2009 menjadi sebesar 49,18%, dan pada
tahun 2010 menjadi 49,0% . Adapun kontribusi sektor perdagangan, restoran dan
hotel sebagai sektor prioritas kedua, memberikan kontribusi pada PDRB ADHK
Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2006 mencapai 22,97%, pada tahun 2007 sebesar
23,33%, pada tahun 2008 menjadi sebesar 23,72%, meningkat signifikan pada tahun
2009 sebesar 24,05% dan meningkat signifikan pada tahun 2010 menjadi sebesar
24,4%.
Stabilitas
pertumbuhan ekonomi juga tidak lepas dari tantangan berat tingginya laju
inflasi. Inflasi adalah suatu keadaan di mana harga barang-barang secara umum
mengalami kenaikan dan berlangsung dalam kurun waktu tertentu secara
terus-menerus. Harga barang yang ada mengalami kenaikan nilai dari waktu-waktu
sebelumnya dan berlaku di setiap wilayah. Akibatnya, terjadi proses menurunnya
nilai mata uang secara kontinu. Sejak tahun 2005 hingga tahun 2007, laju inflasi
mengalami fluktuasi dan kondisinya berada diatas 10%, tahun 2005 sebesar
13,43%, menurun pada tahun 2006 menjadi 10,46%, dan meningkat lagi tahun 2007
menjadi sebesar 11,27%. Laju inflasi ini kemudian dapat dikendalikan dan
mengalami penurunan menjadi di bawah 10 % pada tahun 2008 tepatnya berada pada
level 9,72%. Dengan inflasi pada kisaran tersebut, justru diharapkan mempunyai
pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian daerah lebih
baik, yaitu membuat masyarakat bergairah untuk bekerja dan melaksanakan
diversifikasi usaha, menabung dan mengadakan investasi yang dampaknya
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah.
Peningkatan
perekonomian juga nampak dari meningkatnya indeks daya beli masyarakat. Pada
tahun 2005 indeks daya beli sebesar 55,7 meningkat menjadi 63,52 tahun 2007,
menjadi sebesar 65 pada tahun 2008. Peningkatan PDRB di Kabupaten Banyuwangi
disebabkan peningkatan konsumsi masyarakat, belanja pemerintah, investasi, dan
perdagangan antar daerah. Di sektor investasi pada tahun 2009 terdapat
penurunan modal asing sebesar US $ 300.000, dan penanaman modal dalam negeri
sebesar Rp.130,38 milyar. Pada tahun 2009 angka pendapatan per kapita Kabupaten
Banyuwangi tercatat sekitar Rp,12.444.122,71 yang mengandung maksud bahwa dari seluruh
penduduk Kabupaten Banyuwangi diperkirakan mempunyai pendapatan rata-rata dalam
setahunnya sebesar Rp, 12.444.122,71. Angka pendapatan per kapita ini naik
sekitar 12,61 persen bila dibandingkan dengan angka pendapatan per kapita tahun
2008. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa angka pendapatan per kapita bisa
diintepretasikan sebagai tingkat kesejahteraan masyarakat, dengan demikian
apabila angka pendapatan per kapita Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2009 naik
sebesar 12,61 persen, maka sama artinya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat
Kabupaten Banyuwangi naik sebesar 12,61 persen.
Sejak
tahun 2005 hingga 2009 kemampuan daya beli penduduk Kabupaten Banyuwangi tampak
lebih baik searah dengan rata-rata Provinsi Jawa Timur, tetapi setelah memasuki
tahun 2006 hingga 2007 keadaannya berubah menjadi lebih lambatterhadap angka
rata-rata Provinsi Jawa Timur. Memasuki tahun 2008 hingga 2009 Indeks Daya Beli
penduduk Kabupaten Banyuwangi menjadi lebih baik meskipun masih berada di bawah
angka ratarata Provinsi Jawa Timur. Bahkan apabila secara grafis ini selalu
menunjukkan pola yang menurun, tidak menutup kemungkinan beberapa tahun ke
depan kemampuan daya beli penduduk Kabupaten Banyuwangi akan semakin tertinggal
bila dibandingkan dengan kemampuan daya beli rata-rata penduduk Provinsi Jawa
Timur.
D)
SOSIAL BUDAYA KABUPATEN BANYUWANGI
Pengertian
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara,
Kebudayaan berarti hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni
zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi
berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Terlalu luasnya pengertian tentang Budaya maka Koentjaraningrat membagi budaya
menjadi tujuh unsur yaitu Bahasa, Sistem Pengetahuan, Sistem Kemasyarakatan
atau Organisasi Sosial, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem Mata
Pencaharian Hidup, Sistem Religi dan Kesenian.
1.
Bahasa
Bahasa
yang terdapat di Kabupaten Banyuwangi beraneka ragam. Hal ini karena di
Banyuwangi sendiri terdapat tiga suku mayoritas dengan tiga bahasa yang berbeda
pula. Suku-suku tersebut antara lain suku Jawa, Madura, dan suku asli
Banyuwangi yaitu suku Osing. Suku-suku ini memiliki bahasa masing-masing dengan
perbedaan satu sama lain yang khas. Suku ini juga mendiami beberapa daerah
masing-masing yang berbeda satu sama lain. Contoh seperti suku Jawa yang
terdapat banyak di Banyuwangi tengah dan tersebar merata, suku Madura yang
banyak terdapat didaerah pesisir dan di beberapa kecamatan di Banyuwangi dan
suku Osing berada di Ibu kota Kabupaten Banyuwangi, daerah sekitar Kawah Ijen,
dan beberapa daerah pesisir pantai yang bercampur dengan suku madura. Dalam sub
sub bab ini akan lebih dibahas mengenai bahasa khas suku Osing yaitu bahasa
Osing.
Keterangan:
Peta ini menunjukan lokasi dengan perbedaan bahasa yang terdapat di Banyuwangi.
Warna hijau menunjukan daerah dengan bahasa Osing, hitam menunjukan daerah
dengan penggunaan bahasa jawa, sementara merah merupakan daerah dengan
penggunaan bahasa Madura.
Suku
Osing atau disebut juga sebagai “wong Blambangan” ini berawal sejak berakhirnya
masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Jatuhnya kekuasaan Majapahit ini
membuat beberapa warganya berlari ke beberapa tempat, diantaranya menuju Gunung
Bromo, Bali, dan Blambangan (tempat suku Osing) salah satunya. Hingga lahirlah
kerajaan Hindu-Budha terakhir di sana. Seperti yang telah dijelaskan di awal,
bahwa suku Osing adalah penduduk asli Jawa Timur akibat dari berakhirnya
kerajaan Majapahit, tentu bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno. Meski
begitu, mereka menggunakan dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya.
Ada penekanan khusus pada kata-kata yang didahului konsonan (B, D, G) dan
diberi sisipan (Y). Contohnya jika ingin menyebutkan kata “Abang” maka berubah
menjadi “Abyang”.
2.
Sistem Pengetahuan
Sistem
pengetahuan masyarakat Banyuwangi mulai mengalami perkembangan pesat dalam
beberapa tahun terakhir. Banyuwangi memliki banyak sekolah tapi hanya beberapa
saja yang sudah mencatatkan prestasi sampai tingkat nasional seperti SMP 1
Genteng, SMP 1 Banyuwangi, SMAN 1 Genteng, SMAN 1 Giri dan SMAN 1 Glagah.
Beberapa sekolah tersebut mengahasilkan sumber daya manusia unggul di
Banyuwangi. Sayangnya kurangnya pemerataan sarana dan prasarana sekolah membuat
sekolah yang memenuhi standar hanya terkonsentrasi di sekolah tersebut saja.
Dalam beberapa tahun terakhir di Banyuwangi juga mulai berbagai perguruan
tinggi negeri maupun swasta. Hal ini demi menunjang pendidikan di Kabupaten
Banyuwangi dalam rangka pengembangan sumber daya manusia unggul di Banyuwangi.
Beberapa perguruan tinggi swasta antara lain seperti Universitas Banyuwangi,
Universitas 17 Agustus Banyuwangi, Universitas Ibrahimy, STIKOM Banyuwangi,
dls. Sementara itu terdapat dua perguruan tinggi negeri di Banyuwangi yaitu
Politeknik Negeri Banyuwangi dan Universitas Airlangga yang membuka kampus di
Banyuwangi. Hal ini diharapkan mampu menampung pelajar dari Banyuwangi yang
ingin melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi, karena pelajar
Banyuwangi lebih banyak yang memilih melanjutkan sekolah perguruan tinggi di
luar Banyuwangi dan bekerja di daerah lain.
3.
Sistem Kemasyarakatan
Sistem
kemasyarakat masyarakat Banyuwangi berbeda-beda berdasarkan suku atau
kepercayaan yang masyarakat miliki. Seperti yang terdapat dalam suku Osing. Dilihat
dari letak Demografi, suku Osing ini berdekatan dengan Jawa, Madura, dan Bali.
Kedekatan letak demografi ini memengaruhi beberapa sistem organisasi,
kebudayaan, juga kesenian di sana. Pola kekeluargaan dan kemasyarakatan suku
Osing sama dengan suku-suku di Jawa yang lain, mulai dari perumahan, makanan,
dan kesehatan yang sangat bersifat kejawaan. Suku Osing sering dibandingkan
dengan kebudayaan Bali, seperti baju
adat, gaun pengantin, dan lainnya. Namun pada hal ini stratifikasi sosial,
sistem kasta yang lekat dengan kebudayaan Bali tidak berlaku di suku Osing. Ini
terjadi karena pengaruh Islam sangat kuat di sana. Pola kekerabatan yang
terbentuk di suku Osing adalah bilateral yang lebih mengarah pada pola
patrilineal, sesuai dengan pola pada umumnya masyarakat yang menganut agama
Islam. Di suku Osing kini, lembaga masyarakat yang terbentuknya mulai dari
kepala desa, sekretaris desa, LMD, kaur pemerintahan, kaur kesra, kaur
pembangunan, dan kaur keuangan. Hal ini
tentu saja berbeda dengan suku Jawa meskipun sama-sama menganut pola patrilineal tapi dengan tradisi
yang berbeda pula.
4.
Organisasi Sosial
Organisasi
sosial di Banyuwangi berkembang pesat seiring dengan perkembangan kabupaten
Banyuwangi dalam beberapa tahun terakhir. Organisasi sosial mulai dari
tingkatan terendah di desa seperti karang taruna perlahan mulai berkembang.
Bahkan di beberapa tempat wisata di Banyuwangi, tempat wisatanya kini dikelola
oleh kelompok karang taruna. Organisasi-organisasi sosial lainnya juga mulai menjamur seperti LSM atau
ormas-ormas yang kini mulai makin bermunculan di Banyuwangi.
5.
Sistem Peralatan Hidup dan Tekhnologi
Masyarakat
Banyuwangi merupakan masyarakat yang masih sederhana. Perkembangan pesat
Banyuwangi sendiri baru terjadi selama beberapa tahun terakhir. Sebelumnya
Banyuwangi hanya Kabupaten pinggiran yang termasuk kabupaten miskin. Sistem
peralatan hidup di Banyuwangi hampir sama layaknya kota-kota lainnya di
Indonesia. Berkembangnya komunikasi dan modernisasi membuat sistem peralatan
hidup juga berkembang. Berbanding lurus pula dengan perkembang tekhnologi yang
terdapat di Banyuwangi. Penggunaan CCTV di beberapa ruas jalan merupakan bentuk
perkembangan secara tekhnologi. Bahkan promosi wisata Banyuwangi saat ini lebih
banyak dimulai dari media sosial dan juga tekhnologi informasi lainnya. Ini
yang membuktikan kesadaran msayarakat Banyuwangi terhadap perkembangan
tekhnologi lumayan tinggi.
6.
Sistem Mata Pencaharian
Banyuwangi
merupakan wilayah yang lumayan subur sehingga bisa ditanami pertanian apapun.
Saat ini mayoritas mata pencaharian penduduk Banyuwangi adalah pertanian yang
hampir tersebar rata di semua wilayah Kabupaten Banyuwangi. Bahkan jika
berkunjung ke Banyuwangi maka dipastikan akan menemukan sawah yang membentang
luas sepanjang perjalanan. Mata pencaharian petani ini tersebar mulai dari
Banyuwangi bagian utara, barat sampai selatan. Mata pencaharian penduduk
Banyuwangi lainnya adalah di perkebunan. Di daerah Glenmore merupakan mayoritas
dengan mata pencaharian perkebunan Kakao. Banyuwangi bagian timur juga sama
dengan banyaknya lahan perkebunan. Dalam beberapa tahun terakhir, perkebunan
Buah Naga menjadi favorit di beberapa daerah Banyuwangi dan hampir di setiap
samping atau belakang rumah warga akan menanam Buah Naga. Mata pencaharian
lainnya adalah nelayan yang terdapat di setiap pesisir kabupaten Banyuwangi
dengan Muncar sebagai pusatnya. Meskipun begitu di beberapa wilayah pesisir,
penduduknya mulai beralih ke pariwisata. Berkembangnya pariwisata Banyuwangi
membuat para nelayan ini berhenti ke laut dan lebih memilih menyewakan
perahunya dalam rangka pariwisata. Dalam jumlah yang tidak terlalu besar, mata
pencaharian jasa terdapat di beberapa kecamatan di Banyuwangi seperti kecamatan
Genteng, Glagah, Giri, Banyuwangi, Rogojampi, dan Cluring.
7.
Sistem Religi
Mayoritas
penduduk Banyuwangi beragama Islam dengan keunikan tradisi yang sedikit berbeda
dengan daerah lainnya. Meskipun begitu agama lain seperti Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan kepercayaan lainnya juga berkembang di daerah banyuwangi.
Hampir di setiap kecamatannya di Banyuwangi terdapat kelima agama tersebut. Persebaran agama di
Banyuwangi juga bisa dibilang unik karena untuk beberapa agama tertentu menjadi
mayoritas di suatu daerah. Artinya tidak semua daerah di Banyuwangi agama
mayoritasnya Islam.
Contohnya
seperti di daerah pesisir laut Banyuwangi bagian selatan dan Muncar mayoritas
agama disana adalah Hindu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya Pura di daerah
sana. Sementara untuk di Banyuwangi bagian tengah, barat dan utara barulah
didominasi oleh pemeluk agama Islam. Hal ini lah yang membuat Banyuwangi
menjadi daerah yang kaya akan perbedaan cultural. Sistem religi disini juga
memiiliki keunikan seperti adanya tradisi endog-endogan ketika Maaulid Nabi.
Endog-endogan sendiri adalah tradisi berkeliling jalan dengan membawa telur
yang sudah dimasukan wadah dan ditancapkan pada batang pohon pisang. Tradisi
ini hampir terdapat di semua wilayah Banyuwangi.
8.
Kesenian
Banyuwangi,
kota yang berbatasan dengan kabupaten situbondo di bagian utara, selat bali di
bagian timur dan samudra hindia di bagian selatan. selama ini kita mungkin taka
sing lagi dengan beberapa icon dari kota banyuwangi yang telah mendunia. sebut
saja kawah ijen dengan kecantikan alamnya yang menghipnotis, dan pantai
pelengkung yang menjadi salah satu pantai dengan ombak berkelas dunia. Namun
ternyata kota yang memiliki semboyan the sunrise of java ini tak hanya memukau
dengan keindahan alamnya. Karena berbagai seni dan budaya asli masih hidup di
kota blambangan ini. bahkan beberapa kesenian ini menjadi asset yang cukup
menarik perhatian wisatawan lokal maupun internasional. Sebut saja tarian
gandrung yang begitu menghipnotis atau tari seblang yang seolah kaya akan
nuansa mistis, Atau tarian kebo keboan yang tak kalah maknanya.
a. Tari Gandrung
Kesenian
tari gandrung banyuwangi lahir pada masa sengsara . semua bermula saat belanda
ingin menguasai kerajaan blambangan di banyuwangi. Perang besar pun tak
terhindarkan, masyarakat blambangan yang tak ingin dijajah melawan dan
bertempur sengit pada tanggal 18 desember 1771 lewat pertempuran dahsyat yang
disebut puputan bayu. Kesenian gandrung banyuwangi muncul banyuwangi bersamaan
dibabatnya hutan tirta gonda atau tirta arum untuk membangun ibukota
blambangan. Untuk memulai dan menata kehidupan yang baik terciptalah seni
tarian gandrung yang pada mulanya di bawa oleh kaum lelaki yang membawa peralatan
music berapa gendang dan beberapa rebana.
Konon
kenapa gandrung diperankan oleh laki laki, karena menurut masyarakat
tradisional blambangan tidak pantas bagi seorang wanita yang menari terus
menerus dari malam hingga pagi. Dalam perkembangannya, tari gandrung sudah
menjadi bagian hidup suku asli banyuwangi osing. Pada awalnya penari gandrung
memang dibawakan oleh seorang pria atau biasa disebut gandrung marsan. Namun
lambat laun sesuai dengan perkembangan jaman gandrung berkembang dan mulai
dibawakan perempuan. Karena tak heran jika sampai saat ini bisa ditemui
gandrung yang dibawakan oleh pria.
b. Tari Seblang
Selain
gandrung, kesenian atau tarian khas banyuwangi yang tak kalah indah dan penuh
kisah berikutnya adalah tari seblang. Seblang adalah sebuah ritual tradisional
khas suku osing. Tarian seblang dipentaskan sebagai bentuk dan rasa syukur
masyarakat banyuwangi dan menolak balak agar desa tetap aman dan tentram. Untuk
para penari yang akan membawakan tari seblang haruslah keturunan dari penari
sebelumnya dan dipilih langsung oleh dukun setempat. Hiasan padi, tebu dan
tanaman lainnya adalah lambing dari kesuburan yang patut disyukuri.
c. Kebo-keboan
Ritual
kebo keboan yang juga merupakan tradisi khas suku osing. Ritual ini dilakukan
untuk memohon kepada tuhan agar panen mereka subur dan dijauhi oleh mala
petaka. Penggunaan lambing kerbau dipakai karena kerbau merupakan mitra kerja
para petani yang setia menemani disawah. Sementara kerbau yang diperankan oleh
manusia kian melambangkan hubungan khusus antara kerbau dan para petani. Ritual
kebo keboan dibagi dalam beberapa tahapan yakni tujuh hari sebelum pelaksanaan
sang pawang melakukan meditasi di beberapa tempat yang dianggap keramat.
d. Barong Kemiren
Kesenian
banyuwangi berikutnya adalah barong kemiren. Selain tarian bentuk kesenian ini
juga menggunakan media barong. Kesenian ini diyakini suku osing sangat sacral
sehingga ada perlakuan khusus karena barong kemiren berhubungan dengan buyut
cilik yang diyakini oleh penduduk setempat sebagai cikal bakal desa. Karena
pada saat saat tertentu barong diupacarai, diberi sesaji dan dirawat dengan
hati hati. sebelum memulai pementasan, ritual dilakukan terlebih dahulu oleh
sang spiritual bersama seseorang yang memiliki hajatan atau syukuran. Puncak
kesenian yang dimulai dari malam pukul 9 ini berakhir pukul 6 pagi setelah
salah satu lakon mulai kesurupan.
e. Batik Gajah Oling
Batik
motif Gajah Oling atau Gajah Uling, motifnya berupa hewan seperti belut yang
ukurannya cukup besar. Motif Gajah Oling yang diyakini sebagai motif asli dari
Batik Banyuwangi melambangkan sesuatu kekuatan yang tumbuh dari dalam jati diri
masyarakat Banyuwangi. Pemaknaan motif Gajah Oling berkaitan dengan karakter
masyarakat Banyuwangi yang bersifat religius dengan penyebutan “Gajah Eling”
yang memilki pengertian yaitu gajah yang merupakan hewan bertubuh besar,
berarti maha besar, sedangkan uling berarti eling (ingat), secara utuh dapat
diartikan bahwa Batik Gajah Oling mengajak untuk selalu ingat kepada
kemahabesaran Sang Pencipta adalah dasar dari dari perjalanan hidup masyarakat
Banyuwangi. Ada juga yang menyebutkan gajah uling berbentuk melengkung layaknya
belalai gajah. Ciri batik ini berbentuk seperti tanda tanya, yang secara
filosofis merupakan bentuk belalai gajah dan sekaligus bentuk uling. Di samping
unsur utama itu, karakter batik tersebut juga dikelilingi sejumlah atribut
lain. Di antaranya, kupu-kupu, suluran (semacam tumbuhan laut), dan manggar
(bunga pinang atau bunga kelapa).
E)
SOSIAL POLITIK KABUPATEN BANYUWANGI
Kabupaten
Banyuwangi dipimpin oleh seorang Bupati sama dengan Kabupaten lain di seluruh
Indonesia. Dalam sosial politik ini yang menurut penulis sangat mempengaruhi
perkembangan Banyuwangi bahkan yang membuat Banyuwangi menjadi maju sampai
sepesat ini. Dengan potensi yang sudah ada dari dulu namun dibawah kemimpinan
bapak Anas (Bupati Banyuwangi) potensi tersebut dapat diberdayakan secara
optimal yang membuat Banyuwangi menjadi terkenal dan mendapatkan banyak
penghargaan.
Faktor
sosial politik atau lembaga memang menentukan dan salah satu buktinya adalah
perkembagan kabupaten Banyuwangi. Kini masayrakat bisa bangga ketika mereka
menjawab Banyuwangi sebagai daerah asalnya. Kreatifitas dari lembaga ini yang
menyebabkan perkembangan Kabupaten Banyuwangi.
F)
RENCANA TATA RUANG KABUPATEN BANYUWANGI
Secara umum kebijakan
RTRW Kabupaten Banyuwangi tahun 2009-2029 sebagai berikut.
1.
Kebijakan Dan Strategi Sistem Perdesaan
a. Kebijakan Pengembangan Sistem Pusat
Permukiman Pedesaan
Kebijakan
pengembangan system pusat permukiman perdesaan dalam rangka mencapai tujuan
penataan ruang wilayah meliputi:
1) Pembentukan pusat pelayanan di kawasan perdesaan
secara mandiri untuk meningkatkan kualitas hidup dan Sumberdaya Manusia di kawasan
perdesaan.
2) Peningkatan akses pelayanan sarana dan prasarana
lingkungan di pusat permukiman kawasan perdesaan untuk mendorong peningkatan kualitas
hidup dan Sumberdaya Manusia di kawasan perdesaan.
3) Peningkatan keterkaitan antar kawasan perdesaan,
antara kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan melalui pengembangan akses jalan–jalan
desa dan peningkatan jalan lokal primer di wilayah Kabupaten Banyuwangi.
4) Peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah perdesaan
khususnya yang berbasis pada sektor-sektor unggulan wilayah.
b. Strategi Pengembangan Sistem Pusat Permukiman
Perdesaan
Strategi pengembangan sistem pedesaaan
meliputi:
Strategi
pengembangan pembentukan pusat pelayanan di kawasan perdesaan secara mandiri
meliputi :
1) Mengembangkan spesialisasi komoditas unggulan
perdesaan, dengan kriteria:
1.1 Memiliki potensi
komoditas sebagai sektor basis.
1.2 Memiliki
daya saing produksi dan pemasaran.
1.3 Memiliki
daya dukung atau potensi pengembangan infrastruktur.
2) Membentuk pusat koleksi dan distriusi hasil
pertanian berdasarkan atas komoditi unggulan masing–masing wilayah unggulan.
3) Membentuk pusat pengembangan agribis.
Strategi
pengembangan untuk peningkatan akses pelayanan sarana dan prasarana lingkungan
di pusat permukiman kawasan perdesaan meliputi :
1) Mengembangkan prasarana dasar perdesaan yang
meliputi transportasi, air bersih, listrik, dan sanitasi.
2) Mengembangkan sarana dasar perdesaan yang meliputi
sarana ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
3) Mempercepat pembangunan pada desa miskin.
Strategi
pengembangan untuk peningkatan keterkaitan antar kawasan perdesaan, antara kawasan
perdesaan dengan kawasan perkotaan, meliputi:
1) Mengembangkan jalan desa sebagai jalan usaha tani
(farm road).
2) Mengembangkan jalan lokal primer sebagai jalur
keterkaitan distribusi kebutuhan proses produksi dan distribusi hasil pertanian
antar perdesaan serta antar perdesaan dengan perkotaan.
3) Peningkatan akses dan jaringan keterhubungan antar
sentra produksi dan dan pusat distribusi.
Strategi
pengembangan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah perdesaan
khususnya yang berbasis pada sektor-sektor unggulan wilayah meliputi:
1) Ekstensifikasi pertanian.
2) Intensifikasi pertanian.
3) Pengembangan kawasan agropolitan.
4) Pengembangan keterkaitan komoditas pertanian dengan
sektor industri dan pariwisata.
2.
Kebijakan Dan Strategi Sistem Perkotaan
a. Kebijakan Pengembangan Sistem
Perkotaan
Kebijakan
pengembangan sistem perkotaan dalam mendukung tujuan penataan ruang Kabupaten
Banyuwangi adalah:
1) Pengarahan struktur permukiman pusat perkotaan
secara berhirarki.
2) Pengendalian perkembangan kawasan perkotaan agar
tidak cenderung memusat di kawasan perkotaan Banyuwangi, Ketapang, dan
Ronggojampi.
b. Strategi Pengembangan Sistem
Perkotaan Perkotaan
Strategi
pengembangan untuk pengarahan struktur permukiman pusat Perkotaan secara
berhirarki dilakukan melalui:
1) Meningkatkan peran perkotaan Banyuwangi sebagai
Pusat Kegiatan Wilayah dan peningkatan peran ibu kota kecamatan/pusat-pusat pelanyanan
untuk menunjang kegiatan skala Lokal.
1.1 PKW
Pusat
Kegiatan Wilayah (PKW) adalah kawasan perkotaan yang menjadi pusat pertumbuhan
dan pelayanan satu atau beberapa kabupaten. Wilayah yang akan dikembangkan
sebagai PKW adakah Kawasan Perkotaan Banyuwangi.
1.2 PKL
Pusat
Kegiatan Lokal (PKL) adalah kawasan perkotaan yang menjadi pusat regional skala
kabupaten dan menjadi kutub pertumbuhan utama pada beberapa wilayah kecamatan di
Kabupaten Banyuwangi. Wilayah yang dikembangkan sebagai PKL adalah: kawasan
perkotaan Genteng, Gambiran, Rogojampi, dan Muncar.
1.3 PKLp
Pusat
Kegiatan Lokal Promosi (PKLp) adalah kawasan perkotaan yang nantinya akan
dikembangkan sebagai pusat pelayanan untuk beberapa kecamatan. Wilayah yang dikembangkan
sebagai PKLp adalah: Kalipuro, Wongsorejo, dan Bangorejo
1.4 PPK
Pusat Pelayanan
Kawasan (PPK) adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan
skala kecamatan atau beberapa desa. Wilayah yang dikembangkan sebagai PPK
Kalibaru, Singojuruh, Srono, Pesanggaran, Purwoharjo, Tegaldlimo, Cluring,
Glenmore, Kabat, Sempu, Songgon, Glagah, Wongsorejo, Giri, Tegalsari, Licin,
dan Siliragung.
Keterangan:
·
Hijau untuk PPk
·
Biru untuk PKLp
·
Hitam untuk PKL
·
Merah untuk PKW
2)
Mengembangkan
Cluster Wilayah di Kabupaten Banyuwangi berdasarkan potensi dan arahan
pengembangan, yaitu :
2.1 Cluster
Banyuwangi Utara yang meliputi Kecamatan Wongsorejo, Kalipuro, Giri, Licin, dan
Glagah. Pusat pelayanan dan pertumbuhan di cluster ini adalah Kota Banyuwangi.
Fungsi Kegiatan
:
2.1.1 Pertanian
Tanaman Pangan
2.1.2 Perkebunan
2.1.3 Perikanan
2.1.4 Peternakan
2.1.5 Industri
2.1.6 Pelabuhan
2.1.7 Kawasan
Lindung
2.1.8 Pariwisata
2.2 Cluster
Banyuwangi Tengah Timur yang meliputi Kecamatan Songgon, Kabat, Singojuruh, Srono,
Muncar, dan Cluring, dengan Kecamatan Rogojampi sebagai pusat pelayanan dan
pertumbuhan.
Fungsi Kegiatan
:
2.2.1 Pertanian
tanaman pangan
2.2.2 Perikanan
2.2.3 Peternakan
2.2.4 Perkebunan
2.2.5 Industri
2.2.6 Pendidikan
2.2.7 Kawasan
Lindung
2.2.8 Bandar
Udara
2.3 Cluster
Banyuwangi Tengah Barat yang meliputi Kecamatan Kalibaru, Glenmore, Tegalsari,
dan Gambiran dengan Kecamatan Genteng sebagai pusat pelayanan dan pertumbuhan.
Fungsi Kegiatan
:
2.3.1 Pertanian
tanaman pangan
2.3.2 Peternakan
2.3.3 Perkebunan
2.3.4 Pariwisata
2.3.5 Industri
Kecil
2.3.6 Kawasan
Lindung
2.4 Cluster
Banyuwangi Selatan yang meliputi Kecamatan Pesanggaran, Siliragung, dan
Tegaldlimo, dengan Kecamatan Bangorejo sebagai pusat pelayanan dan pertumbuhan.
Fungsi Kegiatan
:
2.4.1 Pertanian
tanaman pangan
2.4.2 Perikanan
2.4.3 Perkebunan
2.4.4 Pariwisata
2.4.5 Industri
Kecil
2.4.6 Kawasan
Lindung
Keterangan:
·
Cluster Banyuwangi
Selatan warna hitam
·
Cluster
Banyuwangi Tengah Timur warna merah
·
Cluster
Banyuwangi Tengah Barat warna hijau
·
Cluster
Banyuwangi Utara warna biru
3.
Mendorong pertumbuhan wilayah ke arah Selatan dan Barat Kabupaten Banyuwangi.
Strategi
untuk pengendalian perkembangan kawasan perkotaan agar tidak cenderung memusat
di kawasan perkotaan Banyuwangi, Ketapang, dan Rogojampi, meliputi:
1) Mengembangkan dan mempromosikan kawasan perkotaan
kecamatan khususnya di wilayah bagian selatan menjadi PKLp.
2) Mengembangkan kegiatan agropolitan untuk
meningkatkan kualitas hasil pertanian (perkebunan dan perikanan) di wilayah
bagian selatan dan barat.
BAB V
PENUTUP
A)
KESIMPULAN
Berdasarkan
analisis peta rencana tata ruang Kabupaten Banyuwangi, perkembangan sejauh ini
ada beberapa ketidak cocokan dengan rancangan tata ruang wilayah Kabupaten
Banyuwangi termasuk daerah industri dan lain sebagainya yang sekarang ini masih
dalam proses sengketa seperti daerah Tumpang Pitu. Dalam cluster selatan yang
disana terdapat industri besar atau pertambangan seharusnya tidak diperbolehkan
karena berdasarkan rencana tata ruang pengembangan wilayah seharusnya daerah
selatan dimaksimalkan sebagai hutan lindung, pertanian tanaman pangan, perikanan,
perkebunan, pariwisata, industri kecil, dan kawasan lindung.
Ketidak
sesuian terutama di cluster selatan ini seharusnya bisa diatasi jika memang
mengacu pada rencana tata ruang Kabupaten Banyuwangi 2009-2029. Sementara itu
untuk Cluster yang lainnya pada dasarnya sudah sesuai dengan rencana
pengembangan wilayah dengan pusat setiap cluster benar-benar sudah berkembang
jauh lebih baik dari sebelumnya. Hal ini menunjukan keseriusan pemerintah atau
dalam hal ini lembaga dalam pengembangan wilayah kabupaten Banyuwangi.
Sementara
itu pengembangan wilayah ini juga
menyebabkan berkembangnya lima pilar pengembangan wilayah menurut Sasmita dan
Kuntjoroningrat yaitu antara lain ruang, biofisik eksositem, sosial ekonomi,
sosial budaya dan sosial poltik. Dalam sosial ekosistem, sosial ekonomi dan
sosial budaya benar-benar mengalami perkembangan pesat sebagai bentuk
perkembangan wilayah yang terjadi pula di Kabupaten Banyuwangi. Perkembangan
aspek-aspek tersebut menandakan bahwa Kabupaten Banyuwangi dalam kurun waktu
lima tahun terakhir mengalami perkembangan yang signifikann dan dapat dirasakan
dampaknya oleh masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Akil, Sjarifuddin. ____. Pengembangan Wilayah Dan Penataan Ruang Di
Indonesia: Tinjauan Teoritis Dan Praktis. Paper online Progam Magister
KAPET: Universitas Hasanuddin Makassar.
Darmawati, Choirul Saleh, Imam Hanafi.
2015. Implementasi Kebijakan Rencana Tata
Ruang Wilayah (Rtrw) Dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik online: Universitas Brawijaya.
Mulyadi, Asep. 2014. Sebuah Pemahaman Tentang Wilayah.
Artikel Online
Rasiwara, Reno. 2015. Kesenian Asli
Banyuwangi, (online), (http://www.asliindonesia.net/2015/05/kesenian-asli-banyuwangi-yang-tetap.html), diakses pada 18 April 2016.
Syahadat, Epi dan Subarudi. 2012. Permasalahan Penataan Ruang. Artikel
online: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan.
Website Resmi Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi . 2014. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Banyuwangi, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, (online), (www.banyuwangikab.go.id), di
askes pada18 April 2016.
Website Resmi Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi. 2012. Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Banyuwangi, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, (online), (www.banyuwangikab.go.id), di askes pada18 April 2016.
Komentar
Posting Komentar