RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) BANYUWANGI - SECARA UMUM




RENCANA TATA RUANG WILAYAH DAN LIMA PILAR PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN BANYUWANGI

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Geografi Pengembangan Wilayah
Yang dibina oleh Bapak Ardyanto Tanjung




Oleh
Teguh Dwi Imanda                 140721600590








UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN GEOGRAFI
S1 PENDIDIKAN GEOGRAFI
April 2016


BAB I
PENDAHULUAN
A)    LATAR BELAKANG
Kabupaten Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibu kotanya adalah Banyuwangi. Kabupaten ini terletak di ujung paling timur pulau Jawa, di kawasan Tapal Kuda, dan berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di sebelah Utara, Selat Bali di sebelah Timur, Samudra Hindia di Selatan serta Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso di sebelah Barat. Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten terluas di Jawa Timur sekaligus menjadi yang terluas di Pulau Jawa, dengan luas wilayahnya yang mencapai 5.782,50 km2, atau lebih luas dari Pulau Bali (5.636,66 km2). Di pesisir Kabupaten Banyuwangi bagian Utara terdapat Pelabuhan Ketapang, yang merupakan perhubungan utama antara pulau Jawa dengan pulau Bali (Pelabuhan Gilimanuk).
Kabupaten Banyuwangi yang secara geografis terletak pada koordinat 7º45’15”–80 43’2” LS dan 113º38’10” BT. Wilayah kabupaten Banyuwangi cukup beragam, dari dataran rendah hingga pegunungan dapat kita jumpai. Kabupaten Banyuwangi memiliki beberapa potensi biofisik ekosistem seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, serta pada sektor pariwisata yang menunjang pengembangan wilayah kabupaten Banyuwangi. Wilayah yang berbatasan dengan kabupaten Bondowoso terdapat rangkaian Dataran Tinggi Ijen dengan puncaknya Gunung Raung (3.344 mdpl) dan Gunung Merapi (2.799 mdpl). Di balik Gunung Merapi terdapat Gunung Ijen yang terkenal dengan kawahnya. Bagian selatan terdapat perkebunan, peninggalan sejak zaman Hindia Belanda. Wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Jember bagian selatan merupakan kawasan konservasi yang kini dilindungi dalam sebuah cagar alam, yakni Taman Nasional Meru Betiri. Pantai Sukamade merupakan kawasan pengembangan penyu. Di Semenanjung Blambangan juga terdapat cagar alam, yaitu Taman Nasional Alas Purwo.
Banyuwangi mengalami perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini membuat Banyuwangi semakin terkenal baik domestik maupun internasional. Pembangunan sarana dan prasarana yang mempercantik Kabupaten juga terus dilaksanakan. Wisata Banyuwangi juga tidak kalah karena terus dipromosikan ke luar daerah sampai ke luar negeri melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan turis mancanegara maupun domestik. Perkembangan wilayah Banyuwangi ini lah yang membuat Banyuwangi menjadi Kabupaten yang mengalami kemajuan pesat dalam beberapa tahun terakhir.
B)    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana ruang dalam pengembangan wilayah Kabupaten Banyuwangi?
2.      Bagaimana biofisik ekosistem Kabupaten Banyuwangi dan pengaruhnya dalam pengembangan wilayah?
3.      Bagaimana sosial ekonomi Kabupaten Banyuwangi dan pengaruhnya dalam pengembangan wilayah?
4.      Bagaimana sosial budaya Kabupaten Banyuwangi dan pengaruhnya dalam pengembangan wilayah?
5.      Bagaimana sosial politik Kabupaten Banyuwangi dan pengaruhnya dalam pengembangan wilayah?
6.      Bagaimana rencana tata ruang wilayah Kabupaten Banyuwangi?
C)    TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan pembuatan makalah ini sebagai berikut.
1.      Mengetahui ruang dalam pengembangan wilayah Kabupaten Banyuwangi.
2.      Mengetahui biofisik ekosistem Kabupaten Banyuwangi dan pengaruhnya dalam pengembangan wilayah.
3.      Memahami sosial ekonomi Kabupaten Banyuwangi dan pengaruhnya dalam pengembangan wilayah.
4.      Memahami sosial budaya Kabupaten Banyuwangi dan pengaruhnya dalam pengembangan wilayah.
5.      Memahami sosial politik Kabupaten Banyuwangi dan pengaruhnya dalam pengembangan wilayah.
6.      Mengetahui rencana tata ruang wilayah Kabupaten Banyuwangi.

BAB II
KAJIAN TEORI
A)    PENGERTIAN WILAYAH
Istilah wilayah mengacu pada pengertian unit geografis didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen didalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan yang lainnya, dimana komponen-komponen tersebut memiliki arti di dalam pendiskripsian perencanaan dan pengolaan sumberdaya pembangunan. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (UU Nomor 24 Tahun 1992: Penataan Ruang). Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan spesifik dari luasan suatu wilayah, batasan yang ada lebih bersifat meaningfull untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi, dengan demikian batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi lebih bersifat dinamis.
Konsep wilayah menurut Richadson, (1969) dalam Darmawati dkk (2015) membagi wilayah kedalam tiga katagori atau sering dikenal dengan tipologi wilayah yaitu : (1) Wilayah Homogen (uniform atau homogeneous region), (2) Wilayah nodal , dan (3)Wilayah Perencanaaan (planning region). Cara klasifikasi konsep wilayah ini teryata kurang mampu menjelaskan keragaman konsep wilayah yang ada. Blair (1991), memandang konsep wilayah nodal terlalu sempit untuk menjelaskan fenomena yang ada dan cenderung menggunakan konsep fingsional. Sedangkan menurut Ernan rustiadi dkk. (2011) kerangka konsep wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah : (1) wilayah homogeny (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan ( planning region atau programing region). Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam kelompok konsep wilayahperencanaan terdapat konsep wilayah administratif-politis dan konsep wilayah fungsional (Darmawati, dkk: 2015).
Pada dasarnya pembagian wilayah dimaksudkan untuk mempermudah dalam pengelolaannya, sehingga kedepannya dapat membantu dalam upaya pengembangan wilayah tersebut. Prinsip dasar pengembangan wilayah adalah untuk mengatasi ketimpangan perkembangan baik secara fisik maupun non fisik di suatu wilayah,selain itu pembagian wilayah dimaksudkan untuk memberikan kesempatan lebih bagi suatu wilayah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, sehingga di wilayah tesebut muncul pusat-pusat pertumbuhan yang dapat mendorong proses pembangunan di wilayah tersebut.
B)    TEORI-TEORI DASAR PENGEMBANGAN WILAYAH
Dalam banyak kepustakaan tentang pembangunan, terdapat beberapa pendekatan dan teori. Menyebut beberapa diantaranya adalah growth theory, rural development theory, agro first theory, basic needs theory, dan lain sebagainya. Teori-teori pembangunan itu memuat berbagai pendekatan ilmu sosial yang berusaha menangani masalah keterbelakangan. Salah satu teori pembangunan wilayah adalah pertumbuhan tak berimbang (unbalanced growth) yang dikembangkan oleh Hirscham dan Myrdal. Pengembangan wilayah merupakan proses perumusan dan pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan dalam skala supra urban.
Pembangunan wilayah pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan sumber daya alam secara optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, yaitu berdasarkan kepada kegiatan ekonomi dasar yang terjadi pada suatu wilayah. Sesungguhnya teori pembangunan terkait erat dengan strategi pembangunan, yakni perubahan struktur ekonomi dan pranata sosial yang diupayakan untuk menemukan solusi yang konsisten bagi persoalan yang dihadapi. Berbagai pendekatan menyangkut tema-tema kajian tentang pembangunan, satu diantaranya adalah mengenai isu pembangunan wilayah. Secara luas, pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan.
1.      Teori Sektor
Teori ini berkaitan erat dengan perubahan relatif pentingnya sektor-sektor ekonomi di mana laju perubahannya dijadikan indikator kemajuan ekonomi suatu wilayah. Adapun dasar bagi terjadinya perubahan, dapat dilihat pada sisi permintaan dan penawaran. Pada sisi permintaan, elastisitas pendapatan dan permintaan bagi barang dan jasa yang ditawarkan oleh industri dan aktivitas jasa adalah lebih tinggi daripada bagi proyek pertanian, sehingga adanya peningkatan pendapatan akan diikuti oleh pengalihan relative sumber-sumber dari sektor-sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Pada sisi penawaran, pengalihan tenaga kerja dan modal terjadi akibat adanya perbedaan tingkat pertumbuhan produktivitas dalam sektor-sektor ekonomi tersebut. Jadi teori sektor menekankan pada adanya perubahan internal daripada adanya hubungan atau perubahan eksternal seperti teori basis ekspor. Namun sebagai suatu teori yang menjelaskan pertumbuhan, ia tidak memadai oleh karena tidak menawarkan pemahaman tentang penyebab dari pertambahan itu.
2.      Teori Pusat Pertumbuhan
Theory growth poles adalah salah satu teori yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara sekaligus (Mulyadi: 2014). Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan keseluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan tepadu.
Konsep pusat pertumbuhan diperkenalkan pada tahun 1949 oleh Fancois Perroux yang mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal”. Menurut Rondinelli dan Unwin dalam Mulyadi (2014) bahwa teori pusat pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di negara berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota. Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari perkotaan ke pedesaan. Menurut Stohr dalam Mulyadi (2014), konsep pusat pertumbuhan mengacu pada pandangan ekonomi neo-klasik. Pembangunan dapat dimulai hanya dalam beberapa sektor yang dinamis, mampu memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiple effect) pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas. Sehingga pembangunan sinonim dengan urbanisasi (pembangunan di wilayah perkotaan) dan industrialisasi (hanya pada sektor industri). Pandangan ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin ekuilibrium (keseimbangan) dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah seperti kawasan hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar. Namun demikian kegagalan teori pusat pertumbuhan karena trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) tidak terjadi yang diakibatkan karena aktivitas industri tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland. Selain itu respon pertumbuhan di pusat tidak cukup menjangkau wilayah hinterland karena hanya untuk melengkapi kepentingan hirarki kota.
C)    RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW)
Sesuai dengan UU 24/1992 tentang penataan ruang, sistem perencanaan tata ruang wilayah diselenggarakan secara berhirarkis menurut kewenangan administratif, yakni dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci. RTRWN disusun dengan memperhatikan wilayah Nasional sebagai satu kesatuan wilayah yang lebih lanjut dijabarkan kedalam strategi serta struktur dan pola pemanfaatan ruang pada wilayah propinsi (RTRWP), termasuk di dalamnya penetapan sejumlah kawasan tertentu dan kawasan andalan yang diprioritaskan penanganannya.
Aspek teknis perencanaan tata ruang wilayah dibedakan berdasarkan hirarki rencana. RTRWN merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang
dengan horizon waktu hingga 25 - 50 tahun ke depan dengan menggunakan skala
ketelitian 1 : 1,000,000. RTRW Propinsi merupakan perencanaan makro strategis
jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun pada skala ketelitian 1 : 250,000. Sementara, RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan mikro
operasional jangka menengah (5-10 tahun) dengan skala ketelitian 1 : 20,000 hingga 100,000, yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana rinci yang bersifat mikro-operasional jangka pendek dengan skala ketelitian dibawah 1 : 5,000. Dalam kaitannya dengan pengembangan sistem permukiman, maka didalam RTRWN sendiri telah ditetapkan fungsi kota-kota secara nasional berdasarkan kriteria tertentu (administratif, ekonomi, dukungan prasarana, maupun kriteria strategis lainnya) yakni sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Untuk mewujudkan fungsi fungsi kota sebagaimana ditetapkan dalam RTRWN secara bertahap dan sistematis.
1.      RTRW Kabupaten Banyuwangi
Berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Banyuwangi nomor 08 tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten banyuwangi tahun 2012-2032 Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 6 Penataan ruang wilayah Kabupaten bertujuan mewujudkan ruang Kabupaten berbasis pertanian bersinergi dengan pengembangan perikanan, pariwisata, industri, perdagangan dan jasa yang berdaya saing dan berkelanjutan. Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 7 yaitu (1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 disusun kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten. (2) Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.       Pengembangan kawasan pertanian;
b.      Pengembangan kawasan perikanan;
c.       Pengembangan kawasan pariwisata terpadu berbasis potensi wisata alam, wisata budaya, dan wisata buatan;
d.      Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi perdesaan dan perkotaan yang menunjang sistem pemasaran hasil pertanian, perikanan, pariwisata, industri, perdagangan, dan jasa;
e.       Penataan sektor informal;
f.       Pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah yang mendukung kawasan pertanian, perikanan, pariwisata, industri, perdagangan dan jasa, kawasan pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta pelayanan dasar masyarakat;
g.      Pengembangan kawasan strategis kabupaten;
h.      Pengelolaan wilayah yang memperhatikan daya dukung lahan, daya tampung kawasan dan aspek konservasi sumber daya alam;
i.        Pengembangan kawasan budidaya dengan menumbuhkan kearifan lokal dan memperhatikan aspek ekologis;
j.        Pengendalian dan pelestarian kawasan lindung;
k.      pengendalian kawasan rawan bencana alam; dan
l.        Peningkatan fungsi kawasan untuk Pertahanan dan Keamanan Negara
























BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif dan evaluatif. Metode deskriptif merupakan suatu metode analisis yang digunakan untuk melukiskan atau menggambarkan segenap fakta atau karakteristik populasi tertentu secara sistematis, aktual, dan cermat (Arikunto 2006:239) dan kepustakaan (study literature), yaitu salah satu metode penelitian yang menggunakan telaah pustaka dengan melakukan proses pencarian referensi teori yang relefan dengan kasus atau permasalahan yang ditemukan dan pengumpulan dokumen, dengan menggunakan media baca sebagai sumber data dan informasi (M. Ungguh, Jasa 2010:24).
Ruang lingkup wilayah yang dipergunakan adalah Kabupaten Banyuwangi. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyuwangi, BAPPEDA Banyuwangi, rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuwangi.
















BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan membahas mengenai lima pilar pengembangan wilayah menurut Sasmita dan Kuntjoroningrat yang meliputi ruang, biofisik ekosistem, sosial ekonomi, sosial budaya, dan sosial politik serta menjelaskan secara sederhana rencana tata ruang Kabupaten Banyuwangi. Selanjutnya akan dibahas mengenai perkembangan Kabupaten Banyuwangi berdasarkan rencana tata ruang Kabupaten Banyuwangi. Berikut pembahasan yang penulis paparkan.
A)    RUANG KABUPATEN BANYUWANGI
Dalam pilar pengembangan wilayah ruang ini dibagi menjadi dua yaitu ruang absolut dan relatif. Ruang absolut membahas mengenai titik koordinat suatu wilayah, sementara ruang relatif membahas mengenai letak rumah yang lebih deskriptif. Ruang atau space ini akan mempengaruhi pilar-pilar yang lainnya karena tanpa disadari antara satu pilar dengan pilar lainnya adalah satu kesatuan yang saling berkesinambungan.
Berdasarkan ruang absolut atau garis batas koordinatnya, posisi Kabupaten Banyuwangi terletak diantara 70 43’ - 80 46’ Lintang Selatan dan 1130 53’ – 1140 38’ Bujur Timur.  Sementara menurut ruang relatif, batas wilayah Kabupaten Banyuwangi sebelah utara adalah Kabupaten Situbondo, sebelah timur adalah Selat Bali, sebelah selatan adalah Samudera Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso.
B)    BIOFISIK EKOSISTEM KABUPATEN BANYUWANGI
Secara umum biofisik ekosistem ini membahas mengenai makhluk hidup yaitu manusia dan alam. Dalam pembahasan manusia atau demografi berfokokus pada kuantitas dan kualitas demografi itu sendiri. Sementara dalam alam membahas tentang persebaran alam pada suatu daerah tertentu.
1.      Demografi
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, penduduk Kabupaten Banyuwangi pada tahun2010 sejumlah 1.554.997 jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010) sebesar 0,44% dan tingkat kepadatan penduduk sebesar 269 jiwa/km2. Meskipun penduduk Kabupaten Banyuwangi belum tergolong padat, namun pertumbuhannya harus dikendalikan agar terpelihara keseimbangannya dengan daya dukung wilayah.
Dari hasil Sensus Penduduk 2010, masih tampak bahwa penyebaran penduduk Kabupaten Banyuwangi masih tertumpu di Kecamatan Muncar yakni sebesar 8,2 persen, kemudian diikuti oleh Kecamatan Banyuwangi sebesar 6,8 persen, Kecamatan Rogojampi sebesar 5,9 persen, Kecamatan Srono sebesar 5,6 persen, Kecamatan Genteng sebesar 5,3 persen dan kecamatan lainnya di bawah 5 persen. Kecamatan Licin, Glagah dan Giri adalah 3 kecamatan dengan urutan terbawah yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit yang masing-masing berjumlah 27.993 orang, 28.295 orang dan 33.984 orang. Sedangkan Kecamatan Muncar dan Banyuwangi merupakan kecamatan yang paling banyak penduduknya di Kabupaten Banyuwangi, yakni masing-masing sebanyak 127.919 orang dan 106.112 orang.
Sex ratio penduduk Kabupaten Banyuwangi adalah sebesar 99, yang artinya jumlah penduduk perempuan 1 persen lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk laki-laki, atau setiap 100 perempuan terdapat 99 laki-laki. Sex ratio terbesar terdapat di Kecamatan Giri yakni sebesar 104 dan yang terkecil terdapat di Kecamatan Glagah yakni sebesar 95. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Banyuwangi per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 0,44 persen. Laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Kalipuro adalah yang tertinggi dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten Banyuwangi yakni sebesar 1,72 persen, sedangkan yang terendah di Kecamatan Singojuruh yakni sebesar -0,17 persen. Kecamatan Muncar menempati urutan pertama dari jumlah penduduk di Kabupaten Banyuwangi dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,46 persen.
2.      Alam
Kabupaten Banyuwangi memiliki luas wilayah 5.782,50 km2. Banyuwangi masih merupakan daerah kawasan hutan karena besaran wilayah yang termasuk kawasan hutan lebih banyak kalau dibandingkan kawasankawasan lainnya. Area kawasan hutan mencapai 183.396,34 ha atau sekitar 31,62%; daerah persawahan sekitar 66.152 ha atau 11,44%; perkebunan dengan luas sekitar 82.143,63 ha atau 14,21%; sedangkan yang dimanfaatkan sebagai daerah permukiman mencapai luas sekitar 127.454,22 ha atau 22,04%. Sisanya telah dipergunakan oleh penduduk Kabupaten Banyuwangi dengan berbagai manfaat yang ada, seperti jalan, ladang dan lain-lainnya.Selain penggunaan luas daerah yang demikian itu, Kabupaten Banyuwangi memiliki panjang garis pantai sekitar 175,8 km, serta jumlah Pulau ada 13 buah. Seluruh wilayah tersebut telah memberikan manfaat besar bagi kemajuan ekonomi penduduk Kabupaten Banyuwangi.
Secara geografis Kabupaten Banyuwangi terletak di ujung timur Pulau Jawa. Wilayah daratannya terdiri atas dataran tinggi berupa pegunungan yang merupakan daerah penghasil produk perkebunan; dan dataran rendah dengan berbagai potensi produk hasil pertanian serta daerah sekitar garis pantai yang membujur dari arah utara ke selatan yang merupakan daerah penghasil berbagai biota laut.
Topografi wilayah daratan Kabupaten Banyuwangi bagian barat dan utara pada umumnya merupakan pegunungan, dan bagian selatan sebagian besar merupakan dataran rendah. Tingkat kemiringan rata-rata pada wilayah bagian barat dan utara 400, dengan rata-rata curah hujan lebih tinggi bila dibanding dengan bagian wilayah lainnya. Daratan yang datar sebagian besar mempunyai tingkat kemiringan kurang dari 150, dengan rata-rata curah hujan cukup memadai sehingga bisa menambah tingkat kesuburan tanah. Dataran rendah yang terbentang luas dari selatan hingga utara dimana di dalamnya terdapat banyak sungai yang selalu mengalir di sepanjang tahun. Di Kabupaten Banyuwangi tercatat 35 DAS, sehingga disamping dapat mengairi hamparan sawah yang sangat luas juga berpengaruh positif terhadap tingkat kesuburan tanah.
C)    SOSIAL EKONOMI KABUPATEN BANYUWANGI
Kondisi perekonomian daerah secara makro di Kabupaten Banyuwangi dari tahun 2005 hingga 2010 menunjukkan pergerakan yang stabil. Hal ini dapat ditunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun 2005 sebesar 4,58% menjadi 5,07% pada tahun 2006, menjadi 5,59% pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 5,76% pada tahun 2008. Pada tahun krisis keuangan global yang tengah berlangsung sehingga menyebabkan macetnya sistem keuangan dunia sehingga menyebabkan merosotnya aktivitas ekonomi dan perdagangan dunia. Pertumbuhan ekonomi dunia melambat dan volume perdagangan dunia hingga tahun 2009 terus merosot. Kelesuan perekonomian global yang juga menerpa perekonomian Indonesia juga memberikan dampak pada perlambatan perekonomian di Kabupaten Banyuwangi. Akibat melemahnya nilai tukar rupiah yang dibarengi dengan kenaikan inflasi telah menyebabkan berkurangnya daya beli masyarakat terutama di perkotaan. Di Kabupaten Banyuwangi, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 merosot menjadi sebesar 5,39%.Meskipun demikian terpaan krisis telah menunjukkan perekonomian Banyuwangi tetap bertahan sehingga tidak sampai pada posisi stagnan atau minus. Hal ini disebabkan bahwa perekonomian di Kabupaten Banyuwangi lebih banyak ditopang oleh sektor riil. Perkembangan perekonomian di Kabupaten Banyuwangi juga dapat ditunjukkan oleh perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Angka Dasar Harga Konstan pada tahun 2000 (PDRB ADHK). Sejak tahun2006 hingga 2010, PDRB ADHK Kabupaten Banyuwangi mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2005 sebesar Rp 8,39 trilyun meningkat menjadi Rp 8,8 trilyunpada tahun 2007 dan menjadi Rp 11,082 rupiah pada tahun 2010.
Perkembangan perekonomian di Kabupaten Banyuwangi tidak terlepas dari perkembangan ekonomi nasional yang sangat dipengaruhi perekonomian dunia. Resesi ekonomi di berbagai belahan dunia berimbas pula ke termasuk Indonesia. Terdapat pengaruh bagi kondisi perekonomian Banyuwangi meskipun tidak signifikan. Hal ini disebabkan kondisi perekonomian di Kabupaten Banyuwangi lebih banyak ditopang oleh sektor riil. Krisis ekonomi yang terjadi tidak memberikan pengaruh langsung bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi. Di samping itu, kurangnya pengaruh disebabkan keterkaitan antara UMKM dan koperasi dengan perekonomian global yang masih sangat terbatas. Orientasi sebagian besar UMKM dan koperasi pada pasar lokal menyebabkan UMKM dan koperasi relatif lebih bisa bertahan dalam kondisi krisis ekonomi saat ini. Berdasarkan data BPS terdapat 96,2% UMKM yang tidak berbadan hukum dan bergerak di sektor-sektor non pertanian yang masih memasarkan produknya hanya sebatas di dalam wilayah kabupaten. Sisanya memasarkan produknya antar provinsi (2,4%) dan antar negara (0,13%). Kondisi ini terkait dengan jenis dan kualitas produk dan jasa yang disediakan oleh UMKM dan koperasi yang pada umumnya baru bisa menjangkau standar dan konsumen di pasar lokal dan regional.
Angka kemiskinan di Kabupaten Banyuwangi mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berdasar PSE tahun 2005, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Banyuwangi adalah sebanyak 463.196 atau sejumlah 157.347 RTM. Selanjutnya adapun berdasarkan hasil PPLS tahun 2008, jumlah Rumah Tangga miskin di Kabupaten Banyuwangi sebesar 129.324 keluarga dengan jumlah penduduk miskin sebesar 312.395 jiwa.
Pertumbuhan ekonomi yang stabil tersebut terutama ditopang oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang mampu tumbuh rata-rata diatas 7% setiap tahunnya. Pada tahun 2006, sektor ini yang hanya tumbuh 7,28%,meningkat secara signifikan menjadi 7,49% pada tahun 2008, dan menjadi 8,35%tahun 2010. Sementara sektor paling besar yang menopang adalah sektor pertanian yang mempunyai kontribusi paling besar sejak beberapa tahun terakhir. Namun demikian sektor ini tumbuh berada dibawah pertumbuhan ekonomi Kabupaten. Pada tahun 2006, sektor ini tumbuh sebesar 4,62%,pada tahun 2007 sebesar 5,47, dan meningkat menjadi 6,49% tahun 2010. Meskipun pertumbuhannya tidak signifikan namun sektor ini tetap menjadi sektor paling dominan dengan angka tiap tahunnya mendekati 50% atau separo nilai PDRB total Kabupaten Banyuwangi.
Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh Sektor Pertanian mempunyai peran sektoral PDRB yang paling besar mencapai diatas 49%, yang diikuti oleh Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran. Pada tahun 2006, kontribusi sektor pertanian mencapai 49,59%, pada tahun 2007 sebesar 49,53%, pada tahun 2008 menjadi sebesar 49,28%, pada tahun 2009 menjadi sebesar 49,18%, dan pada tahun 2010 menjadi 49,0% . Adapun kontribusi sektor perdagangan, restoran dan hotel sebagai sektor prioritas kedua, memberikan kontribusi pada PDRB ADHK Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2006 mencapai 22,97%, pada tahun 2007 sebesar 23,33%, pada tahun 2008 menjadi sebesar 23,72%, meningkat signifikan pada tahun 2009 sebesar 24,05% dan meningkat signifikan pada tahun 2010 menjadi sebesar 24,4%.
Stabilitas pertumbuhan ekonomi juga tidak lepas dari tantangan berat tingginya laju inflasi. Inflasi adalah suatu keadaan di mana harga barang-barang secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung dalam kurun waktu tertentu secara terus-menerus. Harga barang yang ada mengalami kenaikan nilai dari waktu-waktu sebelumnya dan berlaku di setiap wilayah. Akibatnya, terjadi proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Sejak tahun 2005 hingga tahun 2007, laju inflasi mengalami fluktuasi dan kondisinya berada diatas 10%, tahun 2005 sebesar 13,43%, menurun pada tahun 2006 menjadi 10,46%, dan meningkat lagi tahun 2007 menjadi sebesar 11,27%. Laju inflasi ini kemudian dapat dikendalikan dan mengalami penurunan menjadi di bawah 10 % pada tahun 2008 tepatnya berada pada level 9,72%. Dengan inflasi pada kisaran tersebut, justru diharapkan mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian daerah lebih baik, yaitu membuat masyarakat bergairah untuk bekerja dan melaksanakan diversifikasi usaha, menabung dan mengadakan investasi yang dampaknya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah.
Peningkatan perekonomian juga nampak dari meningkatnya indeks daya beli masyarakat. Pada tahun 2005 indeks daya beli sebesar 55,7 meningkat menjadi 63,52 tahun 2007, menjadi sebesar 65 pada tahun 2008. Peningkatan PDRB di Kabupaten Banyuwangi disebabkan peningkatan konsumsi masyarakat, belanja pemerintah, investasi, dan perdagangan antar daerah. Di sektor investasi pada tahun 2009 terdapat penurunan modal asing sebesar US $ 300.000, dan penanaman modal dalam negeri sebesar Rp.130,38 milyar. Pada tahun 2009 angka pendapatan per kapita Kabupaten Banyuwangi tercatat sekitar Rp,12.444.122,71 yang mengandung maksud bahwa dari seluruh penduduk Kabupaten Banyuwangi diperkirakan mempunyai pendapatan rata-rata dalam setahunnya sebesar Rp, 12.444.122,71. Angka pendapatan per kapita ini naik sekitar 12,61 persen bila dibandingkan dengan angka pendapatan per kapita tahun 2008. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa angka pendapatan per kapita bisa diintepretasikan sebagai tingkat kesejahteraan masyarakat, dengan demikian apabila angka pendapatan per kapita Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2009 naik sebesar 12,61 persen, maka sama artinya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Banyuwangi naik sebesar 12,61 persen.
Sejak tahun 2005 hingga 2009 kemampuan daya beli penduduk Kabupaten Banyuwangi tampak lebih baik searah dengan rata-rata Provinsi Jawa Timur, tetapi setelah memasuki tahun 2006 hingga 2007 keadaannya berubah menjadi lebih lambatterhadap angka rata-rata Provinsi Jawa Timur. Memasuki tahun 2008 hingga 2009 Indeks Daya Beli penduduk Kabupaten Banyuwangi menjadi lebih baik meskipun masih berada di bawah angka ratarata Provinsi Jawa Timur. Bahkan apabila secara grafis ini selalu menunjukkan pola yang menurun, tidak menutup kemungkinan beberapa tahun ke depan kemampuan daya beli penduduk Kabupaten Banyuwangi akan semakin tertinggal bila dibandingkan dengan kemampuan daya beli rata-rata penduduk Provinsi Jawa Timur.
D)    SOSIAL BUDAYA KABUPATEN BANYUWANGI
Pengertian Kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan berarti hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Terlalu luasnya pengertian tentang Budaya maka Koentjaraningrat membagi budaya menjadi tujuh unsur yaitu Bahasa, Sistem Pengetahuan, Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian Hidup, Sistem Religi dan Kesenian.
1.      Bahasa
Bahasa yang terdapat di Kabupaten Banyuwangi beraneka ragam. Hal ini karena di Banyuwangi sendiri terdapat tiga suku mayoritas dengan tiga bahasa yang berbeda pula. Suku-suku tersebut antara lain suku Jawa, Madura, dan suku asli Banyuwangi yaitu suku Osing. Suku-suku ini memiliki bahasa masing-masing dengan perbedaan satu sama lain yang khas. Suku ini juga mendiami beberapa daerah masing-masing yang berbeda satu sama lain. Contoh seperti suku Jawa yang terdapat banyak di Banyuwangi tengah dan tersebar merata, suku Madura yang banyak terdapat didaerah pesisir dan di beberapa kecamatan di Banyuwangi dan suku Osing berada di Ibu kota Kabupaten Banyuwangi, daerah sekitar Kawah Ijen, dan beberapa daerah pesisir pantai yang bercampur dengan suku madura. Dalam sub sub bab ini akan lebih dibahas mengenai bahasa khas suku Osing yaitu bahasa Osing.
Keterangan: Peta ini menunjukan lokasi dengan perbedaan bahasa yang terdapat di Banyuwangi. Warna hijau menunjukan daerah dengan bahasa Osing, hitam menunjukan daerah dengan penggunaan bahasa jawa, sementara merah merupakan daerah dengan penggunaan bahasa Madura.
Suku Osing atau disebut juga sebagai “wong Blambangan” ini berawal sejak berakhirnya masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Jatuhnya kekuasaan Majapahit ini membuat beberapa warganya berlari ke beberapa tempat, diantaranya menuju Gunung Bromo, Bali, dan Blambangan (tempat suku Osing) salah satunya. Hingga lahirlah kerajaan Hindu-Budha terakhir di sana. Seperti yang telah dijelaskan di awal, bahwa suku Osing adalah penduduk asli Jawa Timur akibat dari berakhirnya kerajaan Majapahit, tentu bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno. Meski begitu, mereka menggunakan dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Ada penekanan khusus pada kata-kata yang didahului konsonan (B, D, G) dan diberi sisipan (Y). Contohnya jika ingin menyebutkan kata “Abang” maka berubah menjadi “Abyang”.
2.      Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan masyarakat Banyuwangi mulai mengalami perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Banyuwangi memliki banyak sekolah tapi hanya beberapa saja yang sudah mencatatkan prestasi sampai tingkat nasional seperti SMP 1 Genteng, SMP 1 Banyuwangi, SMAN 1 Genteng, SMAN 1 Giri dan SMAN 1 Glagah. Beberapa sekolah tersebut mengahasilkan sumber daya manusia unggul di Banyuwangi. Sayangnya kurangnya pemerataan sarana dan prasarana sekolah membuat sekolah yang memenuhi standar hanya terkonsentrasi di sekolah tersebut saja. Dalam beberapa tahun terakhir di Banyuwangi juga mulai berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta. Hal ini demi menunjang pendidikan di Kabupaten Banyuwangi dalam rangka pengembangan sumber daya manusia unggul di Banyuwangi. Beberapa perguruan tinggi swasta antara lain seperti Universitas Banyuwangi, Universitas 17 Agustus Banyuwangi, Universitas Ibrahimy, STIKOM Banyuwangi, dls. Sementara itu terdapat dua perguruan tinggi negeri di Banyuwangi yaitu Politeknik Negeri Banyuwangi dan Universitas Airlangga yang membuka kampus di Banyuwangi. Hal ini diharapkan mampu menampung pelajar dari Banyuwangi yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi, karena pelajar Banyuwangi lebih banyak yang memilih melanjutkan sekolah perguruan tinggi di luar Banyuwangi dan bekerja di daerah lain.
3.      Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakat masyarakat Banyuwangi berbeda-beda berdasarkan suku atau kepercayaan yang masyarakat miliki. Seperti yang terdapat dalam suku Osing. Dilihat dari letak Demografi, suku Osing ini berdekatan dengan Jawa, Madura, dan Bali. Kedekatan letak demografi ini memengaruhi beberapa sistem organisasi, kebudayaan, juga kesenian di sana. Pola kekeluargaan dan kemasyarakatan suku Osing sama dengan suku-suku di Jawa yang lain, mulai dari perumahan, makanan, dan kesehatan yang sangat bersifat kejawaan. Suku Osing sering dibandingkan dengan kebudayaan Bali, seperti  baju adat, gaun pengantin, dan lainnya. Namun pada hal ini stratifikasi sosial, sistem kasta yang lekat dengan kebudayaan Bali tidak berlaku di suku Osing. Ini terjadi karena pengaruh Islam sangat kuat di sana. Pola kekerabatan yang terbentuk di suku Osing adalah bilateral yang lebih mengarah pada pola patrilineal, sesuai dengan pola pada umumnya masyarakat yang menganut agama Islam. Di suku Osing kini, lembaga masyarakat yang terbentuknya mulai dari kepala desa, sekretaris desa, LMD, kaur pemerintahan, kaur kesra, kaur pembangunan, dan kaur keuangan.  Hal ini tentu saja berbeda dengan suku Jawa meskipun sama-sama  menganut pola patrilineal tapi dengan tradisi yang berbeda pula.
4.      Organisasi Sosial
Organisasi sosial di Banyuwangi berkembang pesat seiring dengan perkembangan kabupaten Banyuwangi dalam beberapa tahun terakhir. Organisasi sosial mulai dari tingkatan terendah di desa seperti karang taruna perlahan mulai berkembang. Bahkan di beberapa tempat wisata di Banyuwangi, tempat wisatanya kini dikelola oleh kelompok karang taruna. Organisasi-organisasi sosial lainnya  juga mulai menjamur seperti LSM atau ormas-ormas yang kini mulai makin bermunculan di Banyuwangi.
5.      Sistem Peralatan Hidup dan Tekhnologi
Masyarakat Banyuwangi merupakan masyarakat yang masih sederhana. Perkembangan pesat Banyuwangi sendiri baru terjadi selama beberapa tahun terakhir. Sebelumnya Banyuwangi hanya Kabupaten pinggiran yang termasuk kabupaten miskin. Sistem peralatan hidup di Banyuwangi hampir sama layaknya kota-kota lainnya di Indonesia. Berkembangnya komunikasi dan modernisasi membuat sistem peralatan hidup juga berkembang. Berbanding lurus pula dengan perkembang tekhnologi yang terdapat di Banyuwangi. Penggunaan CCTV di beberapa ruas jalan merupakan bentuk perkembangan secara tekhnologi. Bahkan promosi wisata Banyuwangi saat ini lebih banyak dimulai dari media sosial dan juga tekhnologi informasi lainnya. Ini yang membuktikan kesadaran msayarakat Banyuwangi terhadap perkembangan tekhnologi lumayan tinggi.
6.      Sistem Mata Pencaharian
Banyuwangi merupakan wilayah yang lumayan subur sehingga bisa ditanami pertanian apapun. Saat ini mayoritas mata pencaharian penduduk Banyuwangi adalah pertanian yang hampir tersebar rata di semua wilayah Kabupaten Banyuwangi. Bahkan jika berkunjung ke Banyuwangi maka dipastikan akan menemukan sawah yang membentang luas sepanjang perjalanan. Mata pencaharian petani ini tersebar mulai dari Banyuwangi bagian utara, barat sampai selatan. Mata pencaharian penduduk Banyuwangi lainnya adalah di perkebunan. Di daerah Glenmore merupakan mayoritas dengan mata pencaharian perkebunan Kakao. Banyuwangi bagian timur juga sama dengan banyaknya lahan perkebunan. Dalam beberapa tahun terakhir, perkebunan Buah Naga menjadi favorit di beberapa daerah Banyuwangi dan hampir di setiap samping atau belakang rumah warga akan menanam Buah Naga. Mata pencaharian lainnya adalah nelayan yang terdapat di setiap pesisir kabupaten Banyuwangi dengan Muncar sebagai pusatnya. Meskipun begitu di beberapa wilayah pesisir, penduduknya mulai beralih ke pariwisata. Berkembangnya pariwisata Banyuwangi membuat para nelayan ini berhenti ke laut dan lebih memilih menyewakan perahunya dalam rangka pariwisata. Dalam jumlah yang tidak terlalu besar, mata pencaharian jasa terdapat di beberapa kecamatan di Banyuwangi seperti kecamatan Genteng, Glagah, Giri, Banyuwangi, Rogojampi, dan Cluring.
7.      Sistem Religi
Mayoritas penduduk Banyuwangi beragama Islam dengan keunikan tradisi yang sedikit berbeda dengan daerah lainnya. Meskipun begitu agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan kepercayaan lainnya juga berkembang di daerah banyuwangi. Hampir di setiap kecamatannya di Banyuwangi terdapat  kelima agama tersebut. Persebaran agama di Banyuwangi juga bisa dibilang unik karena untuk beberapa agama tertentu menjadi mayoritas di suatu daerah. Artinya tidak semua daerah di Banyuwangi agama mayoritasnya Islam.
Contohnya seperti di daerah pesisir laut Banyuwangi bagian selatan dan Muncar mayoritas agama disana adalah Hindu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya Pura di daerah sana. Sementara untuk di Banyuwangi bagian tengah, barat dan utara barulah didominasi oleh pemeluk agama Islam. Hal ini lah yang membuat Banyuwangi menjadi daerah yang kaya akan perbedaan cultural. Sistem religi disini juga memiiliki keunikan seperti adanya tradisi endog-endogan ketika Maaulid Nabi. Endog-endogan sendiri adalah tradisi berkeliling jalan dengan membawa telur yang sudah dimasukan wadah dan ditancapkan pada batang pohon pisang. Tradisi ini hampir terdapat di semua wilayah Banyuwangi.
8.      Kesenian
Banyuwangi, kota yang berbatasan dengan kabupaten situbondo di bagian utara, selat bali di bagian timur dan samudra hindia di bagian selatan. selama ini kita mungkin taka sing lagi dengan beberapa icon dari kota banyuwangi yang telah mendunia. sebut saja kawah ijen dengan kecantikan alamnya yang menghipnotis, dan pantai pelengkung yang menjadi salah satu pantai dengan ombak berkelas dunia. Namun ternyata kota yang memiliki semboyan the sunrise of java ini tak hanya memukau dengan keindahan alamnya. Karena berbagai seni dan budaya asli masih hidup di kota blambangan ini. bahkan beberapa kesenian ini menjadi asset yang cukup menarik perhatian wisatawan lokal maupun internasional. Sebut saja tarian gandrung yang begitu menghipnotis atau tari seblang yang seolah kaya akan nuansa mistis, Atau tarian kebo keboan yang tak kalah maknanya.
a.       Tari Gandrung
Kesenian tari gandrung banyuwangi lahir pada masa sengsara . semua bermula saat belanda ingin menguasai kerajaan blambangan di banyuwangi. Perang besar pun tak terhindarkan, masyarakat blambangan yang tak ingin dijajah melawan dan bertempur sengit pada tanggal 18 desember 1771 lewat pertempuran dahsyat yang disebut puputan bayu. Kesenian gandrung banyuwangi muncul banyuwangi bersamaan dibabatnya hutan tirta gonda atau tirta arum untuk membangun ibukota blambangan. Untuk memulai dan menata kehidupan yang baik terciptalah seni tarian gandrung yang pada mulanya di bawa oleh kaum lelaki yang membawa peralatan music berapa gendang dan beberapa rebana.
Konon kenapa gandrung diperankan oleh laki laki, karena menurut masyarakat tradisional blambangan tidak pantas bagi seorang wanita yang menari terus menerus dari malam hingga pagi. Dalam perkembangannya, tari gandrung sudah menjadi bagian hidup suku asli banyuwangi osing. Pada awalnya penari gandrung memang dibawakan oleh seorang pria atau biasa disebut gandrung marsan. Namun lambat laun sesuai dengan perkembangan jaman gandrung berkembang dan mulai dibawakan perempuan. Karena tak heran jika sampai saat ini bisa ditemui gandrung yang dibawakan oleh pria.
b.      Tari Seblang
Selain gandrung, kesenian atau tarian khas banyuwangi yang tak kalah indah dan penuh kisah berikutnya adalah tari seblang. Seblang adalah sebuah ritual tradisional khas suku osing. Tarian seblang dipentaskan sebagai bentuk dan rasa syukur masyarakat banyuwangi dan menolak balak agar desa tetap aman dan tentram. Untuk para penari yang akan membawakan tari seblang haruslah keturunan dari penari sebelumnya dan dipilih langsung oleh dukun setempat. Hiasan padi, tebu dan tanaman lainnya adalah lambing dari kesuburan yang patut disyukuri.
c.       Kebo-keboan
Ritual kebo keboan yang juga merupakan tradisi khas suku osing. Ritual ini dilakukan untuk memohon kepada tuhan agar panen mereka subur dan dijauhi oleh mala petaka. Penggunaan lambing kerbau dipakai karena kerbau merupakan mitra kerja para petani yang setia menemani disawah. Sementara kerbau yang diperankan oleh manusia kian melambangkan hubungan khusus antara kerbau dan para petani. Ritual kebo keboan dibagi dalam beberapa tahapan yakni tujuh hari sebelum pelaksanaan sang pawang melakukan meditasi di beberapa tempat yang dianggap keramat.
d.      Barong Kemiren
Kesenian banyuwangi berikutnya adalah barong kemiren. Selain tarian bentuk kesenian ini juga menggunakan media barong. Kesenian ini diyakini suku osing sangat sacral sehingga ada perlakuan khusus karena barong kemiren berhubungan dengan buyut cilik yang diyakini oleh penduduk setempat sebagai cikal bakal desa. Karena pada saat saat tertentu barong diupacarai, diberi sesaji dan dirawat dengan hati hati. sebelum memulai pementasan, ritual dilakukan terlebih dahulu oleh sang spiritual bersama seseorang yang memiliki hajatan atau syukuran. Puncak kesenian yang dimulai dari malam pukul 9 ini berakhir pukul 6 pagi setelah salah satu lakon mulai kesurupan.
e.       Batik Gajah Oling
Batik motif Gajah Oling atau Gajah Uling, motifnya berupa hewan seperti belut yang ukurannya cukup besar. Motif Gajah Oling yang diyakini sebagai motif asli dari Batik Banyuwangi melambangkan sesuatu kekuatan yang tumbuh dari dalam jati diri masyarakat Banyuwangi. Pemaknaan motif Gajah Oling berkaitan dengan karakter masyarakat Banyuwangi yang bersifat religius dengan penyebutan “Gajah Eling” yang memilki pengertian yaitu gajah yang merupakan hewan bertubuh besar, berarti maha besar, sedangkan uling berarti eling (ingat), secara utuh dapat diartikan bahwa Batik Gajah Oling mengajak untuk selalu ingat kepada kemahabesaran Sang Pencipta adalah dasar dari dari perjalanan hidup masyarakat Banyuwangi. Ada juga yang menyebutkan gajah uling berbentuk melengkung layaknya belalai gajah. Ciri batik ini berbentuk seperti tanda tanya, yang secara filosofis merupakan bentuk belalai gajah dan sekaligus bentuk uling. Di samping unsur utama itu, karakter batik tersebut juga dikelilingi sejumlah atribut lain. Di antaranya, kupu-kupu, suluran (semacam tumbuhan laut), dan manggar (bunga pinang atau bunga kelapa).
E)    SOSIAL POLITIK KABUPATEN BANYUWANGI
Kabupaten Banyuwangi dipimpin oleh seorang Bupati sama dengan Kabupaten lain di seluruh Indonesia. Dalam sosial politik ini yang menurut penulis sangat mempengaruhi perkembangan Banyuwangi bahkan yang membuat Banyuwangi menjadi maju sampai sepesat ini. Dengan potensi yang sudah ada dari dulu namun dibawah kemimpinan bapak Anas (Bupati Banyuwangi) potensi tersebut dapat diberdayakan secara optimal yang membuat Banyuwangi menjadi terkenal dan mendapatkan banyak penghargaan.
Faktor sosial politik atau lembaga memang menentukan dan salah satu buktinya adalah perkembagan kabupaten Banyuwangi. Kini masayrakat bisa bangga ketika mereka menjawab Banyuwangi sebagai daerah asalnya. Kreatifitas dari lembaga ini yang menyebabkan perkembangan Kabupaten Banyuwangi.
F)     RENCANA TATA RUANG KABUPATEN BANYUWANGI
Secara umum kebijakan RTRW Kabupaten Banyuwangi tahun 2009-2029 sebagai berikut.
1. Kebijakan Dan Strategi Sistem Perdesaan
a. Kebijakan Pengembangan Sistem Pusat Permukiman Pedesaan
Kebijakan pengembangan system pusat permukiman perdesaan dalam rangka mencapai tujuan penataan ruang wilayah meliputi:
1)      Pembentukan pusat pelayanan di kawasan perdesaan secara mandiri untuk meningkatkan kualitas hidup dan Sumberdaya Manusia di kawasan perdesaan.
2)      Peningkatan akses pelayanan sarana dan prasarana lingkungan di pusat permukiman kawasan perdesaan untuk mendorong peningkatan kualitas hidup dan Sumberdaya Manusia di kawasan perdesaan.
3)      Peningkatan keterkaitan antar kawasan perdesaan, antara kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan melalui pengembangan akses jalan–jalan desa dan peningkatan jalan lokal primer di wilayah Kabupaten Banyuwangi.
4)      Peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah perdesaan khususnya yang berbasis pada sektor-sektor unggulan wilayah.
b. Strategi Pengembangan Sistem Pusat Permukiman Perdesaan
Strategi pengembangan sistem pedesaaan meliputi:
Strategi pengembangan pembentukan pusat pelayanan di kawasan perdesaan secara mandiri meliputi :
1)      Mengembangkan spesialisasi komoditas unggulan perdesaan, dengan kriteria:
1.1 Memiliki potensi komoditas sebagai sektor basis.
1.2 Memiliki daya saing produksi dan pemasaran.
1.3 Memiliki daya dukung atau potensi pengembangan infrastruktur.
2)      Membentuk pusat koleksi dan distriusi hasil pertanian berdasarkan atas komoditi unggulan masing–masing wilayah unggulan.
3)      Membentuk pusat pengembangan agribis.
Strategi pengembangan untuk peningkatan akses pelayanan sarana dan prasarana lingkungan di pusat permukiman kawasan perdesaan meliputi :
1)      Mengembangkan prasarana dasar perdesaan yang meliputi transportasi, air bersih, listrik, dan sanitasi.
2)      Mengembangkan sarana dasar perdesaan yang meliputi sarana ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
3)      Mempercepat pembangunan pada desa miskin.
Strategi pengembangan untuk peningkatan keterkaitan antar kawasan perdesaan, antara kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan, meliputi:
1)      Mengembangkan jalan desa sebagai jalan usaha tani (farm road).
2)      Mengembangkan jalan lokal primer sebagai jalur keterkaitan distribusi kebutuhan proses produksi dan distribusi hasil pertanian antar perdesaan serta antar perdesaan dengan perkotaan.
3)      Peningkatan akses dan jaringan keterhubungan antar sentra produksi dan dan pusat distribusi.
Strategi pengembangan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah perdesaan khususnya yang berbasis pada sektor-sektor unggulan wilayah meliputi:
1)      Ekstensifikasi pertanian.
2)      Intensifikasi pertanian.
3)      Pengembangan kawasan agropolitan.
4)      Pengembangan keterkaitan komoditas pertanian dengan sektor industri dan pariwisata.
2. Kebijakan Dan Strategi Sistem Perkotaan
a. Kebijakan Pengembangan Sistem Perkotaan
Kebijakan pengembangan sistem perkotaan dalam mendukung tujuan penataan ruang Kabupaten Banyuwangi adalah:
1)      Pengarahan struktur permukiman pusat perkotaan secara berhirarki.
2)      Pengendalian perkembangan kawasan perkotaan agar tidak cenderung memusat di kawasan perkotaan Banyuwangi, Ketapang, dan Ronggojampi.
b. Strategi Pengembangan Sistem Perkotaan Perkotaan
Strategi pengembangan untuk pengarahan struktur permukiman pusat Perkotaan secara berhirarki dilakukan melalui:
1)      Meningkatkan peran perkotaan Banyuwangi sebagai Pusat Kegiatan Wilayah dan peningkatan peran ibu kota kecamatan/pusat-pusat pelanyanan untuk menunjang kegiatan skala Lokal.
1.1 PKW
Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) adalah kawasan perkotaan yang menjadi pusat pertumbuhan dan pelayanan satu atau beberapa kabupaten. Wilayah yang akan dikembangkan sebagai PKW adakah Kawasan Perkotaan Banyuwangi.
1.2 PKL
Pusat Kegiatan Lokal (PKL) adalah kawasan perkotaan yang menjadi pusat regional skala kabupaten dan menjadi kutub pertumbuhan utama pada beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Wilayah yang dikembangkan sebagai PKL adalah: kawasan perkotaan Genteng, Gambiran, Rogojampi, dan Muncar.
1.3 PKLp
Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp) adalah kawasan perkotaan yang nantinya akan dikembangkan sebagai pusat pelayanan untuk beberapa kecamatan. Wilayah yang dikembangkan sebagai PKLp adalah: Kalipuro, Wongsorejo, dan Bangorejo
1.4 PPK
Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. Wilayah yang dikembangkan sebagai PPK Kalibaru, Singojuruh, Srono, Pesanggaran, Purwoharjo, Tegaldlimo, Cluring, Glenmore, Kabat, Sempu, Songgon, Glagah, Wongsorejo, Giri, Tegalsari, Licin, dan Siliragung.
Keterangan: 
·         Hijau untuk PPk
·         Biru untuk PKLp
·         Hitam untuk PKL
·         Merah untuk PKW
2)      Mengembangkan Cluster Wilayah di Kabupaten Banyuwangi berdasarkan potensi dan arahan pengembangan, yaitu :
2.1 Cluster Banyuwangi Utara yang meliputi Kecamatan Wongsorejo, Kalipuro, Giri, Licin, dan Glagah. Pusat pelayanan dan pertumbuhan di cluster ini adalah Kota Banyuwangi.
Fungsi Kegiatan :
2.1.1 Pertanian Tanaman Pangan
2.1.2 Perkebunan
2.1.3 Perikanan
2.1.4 Peternakan
2.1.5 Industri
2.1.6 Pelabuhan
2.1.7 Kawasan Lindung
2.1.8 Pariwisata
2.2 Cluster Banyuwangi Tengah Timur yang meliputi Kecamatan Songgon, Kabat, Singojuruh, Srono, Muncar, dan Cluring, dengan Kecamatan Rogojampi sebagai pusat pelayanan dan pertumbuhan.
Fungsi Kegiatan :
2.2.1 Pertanian tanaman pangan
2.2.2 Perikanan
2.2.3 Peternakan
2.2.4 Perkebunan
2.2.5 Industri
2.2.6 Pendidikan
2.2.7 Kawasan Lindung
2.2.8 Bandar Udara
2.3 Cluster Banyuwangi Tengah Barat yang meliputi Kecamatan Kalibaru, Glenmore, Tegalsari, dan Gambiran dengan Kecamatan Genteng sebagai pusat pelayanan dan pertumbuhan.
Fungsi Kegiatan :
2.3.1 Pertanian tanaman pangan
2.3.2 Peternakan
2.3.3 Perkebunan
2.3.4 Pariwisata
2.3.5 Industri Kecil
2.3.6 Kawasan Lindung
2.4 Cluster Banyuwangi Selatan yang meliputi Kecamatan Pesanggaran, Siliragung, dan Tegaldlimo, dengan Kecamatan Bangorejo sebagai pusat pelayanan dan pertumbuhan.
Fungsi Kegiatan :
2.4.1 Pertanian tanaman pangan
2.4.2 Perikanan
2.4.3 Perkebunan
2.4.4 Pariwisata
2.4.5 Industri Kecil
2.4.6 Kawasan Lindung
Keterangan:
·         Cluster Banyuwangi Selatan warna hitam
·         Cluster Banyuwangi Tengah Timur warna merah
·         Cluster Banyuwangi Tengah Barat warna hijau
·         Cluster Banyuwangi Utara warna biru
3. Mendorong pertumbuhan wilayah ke arah Selatan dan Barat Kabupaten Banyuwangi.
Strategi untuk pengendalian perkembangan kawasan perkotaan agar tidak cenderung memusat di kawasan perkotaan Banyuwangi, Ketapang, dan Rogojampi, meliputi:
1)      Mengembangkan dan mempromosikan kawasan perkotaan kecamatan khususnya di wilayah bagian selatan menjadi PKLp.
2)      Mengembangkan kegiatan agropolitan untuk meningkatkan kualitas hasil pertanian (perkebunan dan perikanan) di wilayah bagian selatan dan barat.





















BAB V
PENUTUP
A)    KESIMPULAN
Berdasarkan analisis peta rencana tata ruang Kabupaten Banyuwangi, perkembangan sejauh ini ada beberapa ketidak cocokan dengan rancangan tata ruang wilayah Kabupaten Banyuwangi termasuk daerah industri dan lain sebagainya yang sekarang ini masih dalam proses sengketa seperti daerah Tumpang Pitu. Dalam cluster selatan yang disana terdapat industri besar atau pertambangan seharusnya tidak diperbolehkan karena berdasarkan rencana tata ruang pengembangan wilayah seharusnya daerah selatan dimaksimalkan sebagai hutan lindung, pertanian tanaman pangan, perikanan, perkebunan, pariwisata, industri kecil, dan kawasan lindung.
Ketidak sesuian terutama di cluster selatan ini seharusnya bisa diatasi jika memang mengacu pada rencana tata ruang Kabupaten Banyuwangi 2009-2029. Sementara itu untuk Cluster yang lainnya pada dasarnya sudah sesuai dengan rencana pengembangan wilayah dengan pusat setiap cluster benar-benar sudah berkembang jauh lebih baik dari sebelumnya. Hal ini menunjukan keseriusan pemerintah atau dalam hal ini lembaga dalam pengembangan wilayah kabupaten Banyuwangi.
Sementara itu pengembangan wilayah  ini juga menyebabkan berkembangnya lima pilar pengembangan wilayah menurut Sasmita dan Kuntjoroningrat yaitu antara lain ruang, biofisik eksositem, sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial poltik. Dalam sosial ekosistem, sosial ekonomi dan sosial budaya benar-benar mengalami perkembangan pesat sebagai bentuk perkembangan wilayah yang terjadi pula di Kabupaten Banyuwangi. Perkembangan aspek-aspek tersebut menandakan bahwa Kabupaten Banyuwangi dalam kurun waktu lima tahun terakhir mengalami perkembangan yang signifikann dan dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Akil, Sjarifuddin. ____. Pengembangan Wilayah Dan Penataan Ruang Di Indonesia: Tinjauan Teoritis Dan Praktis. Paper online Progam Magister KAPET: Universitas Hasanuddin Makassar.
Darmawati, Choirul Saleh, Imam Hanafi. 2015. Implementasi Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (Rtrw) Dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik online: Universitas Brawijaya.
Mulyadi, Asep. 2014. Sebuah Pemahaman Tentang Wilayah. Artikel Online
Rasiwara, Reno. 2015. Kesenian Asli Banyuwangi, (online), (http://www.asliindonesia.net/2015/05/kesenian-asli-banyuwangi-yang-tetap.html), diakses pada 18 April 2016.
Syahadat, Epi dan Subarudi. 2012. Permasalahan Penataan Ruang. Artikel online: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan.
Website Resmi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi . 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyuwangi, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, (online), (www.banyuwangikab.go.id), di askes pada18 April 2016.
Website Resmi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. 2012. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, (online), (www.banyuwangikab.go.id), di askes pada18 April 2016.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT

PERMASALAHAN PEMBELAJARAN GEOGRAFI DALAM KURIKULUM 2013