PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI KELAS X SMAN 10 MALANG




Teguh Dwi Imanda *, Budi Handoyo**, Hendri Purwito**
* Afiliasi (Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang)
** Afiliasi (Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang)

INFO ARTIKEL

ABSTRAK
RiwayatArtikel:
Diterima:
Disetujui:


Abstract: In the era of 21st century modernization, critical critical thinking skills are owned by the younger generation. The ability to think critically makes a person more alert and alert in seeing things. In this study choose the discovery learning model to solve the problem. Discovery learning model was chosen to be experimented for several factors. These factors include: (1) disocvery learning model developed based on a view of constructivism, (2) using a scientific approach, (3) in accordance with the 2013 curriculum. The design of this study used quasi experimental design with posttest only control group design in experimental class and control class. The findings of this experiment show that the discovery learning model has an effect on the students' critical thinking ability.

Abstrak: Pada era modernisasi abad 21 seperti sekarang ini, kemampuan berpikir kritis penting dimiliki oleh generasi muda. Kemampuan berpikir kritis membuat seseorang menjadi lebih awas dan waspada dalam melihat sesuatu. Pada penelitian ini di pilihlah model pembelajaran discovery untuk mengatasi permasalahan tersebut. Model pembelajaran discovery dipilih untuk dieksperimenkan karena beberapa faktor. Faktor tersebut meliputi: (1) model pembelajaran disocvery dikembangkan berdasarkan pandangan kontruktivisme, (2) menggunakan pendekatan saintifik, (3) sesuai dengan kurikulum 2013. Rancangan pada penelitian ini menggunakan quasi experiment deisgn dengan posttest only control grup design pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Temuan eksperimen ini menunjukan bahwa model pembelajaran discovery berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.
Kata kunci:
Model pembelajaran discovery, eksperimen, kemampuan berpikir kritis, control
Alamat Korespondensi:
Teguh Dwi Imanda
Pendidikan Geografi
Universitas Negeri Malang
Alamat Instansi Asal





PENDAHULUAN
Pada era modernisasi abad 21 seperti sekarang ini, kemampuan berpikir kritis penting dimiliki oleh generasi muda. Kemampuan berpikir kritis membuat seseorang menjadi lebih awas dan waspada dalam melihat sesuatu. Hal ini membuat individu menjadi lebih aktif dalam menilai suatu peristiwa dan tidak mudah menyimpulkan secara asal-asalan. Dengan demikan, begitu penting kemampuan berpikir kritis dimiliki oleh individu dan generasi muda yang berguna untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dalam dunia yang senantiasa berubah.
            Pembelajaran Discovery merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa pada mata pelajaran Geografi. Hal tersebut dikarenakan pada pembelajaran Discovery, siswa diminta untuk mengorganisasi bahan yang akan mereka pelajari sendiri. Menurut Hosnan (2016), pada pembelajaran Discovery siswa didorong untuk terutama belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, anak juga bisa belajar berpikir analisis dengan mencoba memecahkan sendiri problem yang dihadapi. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pembelajaran discovery mendorong siswa bukan lagi menjadi objek dari pembelajaran. Siswa akan menjadi lebih mandiri dalam pembelajaran, hal ini otomatis membuat siswa lebih aktif dan kritis dalam proses pembelajaran. Dengan begini kelas yang interaktif serta guru yang berperan sebagai mediator dan fasilitator dapat terwujud.
Model pembelajaran discovery dipilih untuk dieksperimenkan karena beberapa faktor. Faktor tersebut meliputi: (1) model pembelajaran disocvery dikembangkan berdasarkan pandangan kontruktivisme, (2) menggunakan pendekatan saintifik, (3) sesuai dengan kurikulum 2013.
Pembelajaran dalam kegiatan ini sangat penting untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran discovery terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran geografi kelas X SMAN 10 Malang.
              
METODE
            Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran discovery terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran Geografi kelas X SMAN 10 Malang. Berdasarkan tujuan yang dirumuskan, maka penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen semu (quasi experiment) yaitu eksperimen yang tidak murni karena tidak sepenuhnya melakukan kontrol.
Rancangan pada penelitian eksperimen semu (quast experiment) ini adalah posttest only control grup design, dimana subjek penelitian terdiri dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen diberikan perlakuan berupa model discovery learning, sedangkan kelas kontrol sebagai pembanding tidak diberi perlakuan model discovery learning (konvensional).
Data yang diperoleh untuk pengujian hipotesis pada penelitian eksperimen ini yaitu dengan test uraian berjumlah enam butir soal dengan menggunakan posttest only pada siswa. Posttest diberikan kepada siswa setelah mendapat perlakuan baik itu pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol. Selanjutnya selisih dari posttest (gain score) kelas eksperimen dan kontrol inilah yang digunakan untuk menguji kebenaran hipotesis.





HASIL DAN PEMBAHASAN
            Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran discovery terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran Geografi kelas X SMAN 10 Malang. Sampel pada penelitian ini sebanyak 35 siswa kelas eksperimen dan kontrol. Kemampuan berpikir kritis memiliki enam indikator yaitu 1) Merumuskan masalah, 2) memberi argumen, 3) melakukan deduksi, 4) melakukan induksi, 5) melakukan evaluasi, dan 6) memutuskan serta melaksanakan. Hasil tersebut didapat melalui posttest kemampuan berpikir kritis. Berikut paparannya.
1. Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Kritis Kelas Kontrol
            Data ini merupakan hasil tes kemampuan berpikir kritis kelas X IIS 2 yang merupakan kelas kontrol. Distribusi frekuensi kemampuan berpikir kritis kelas kontrol dapat dilihat pada tabel:

Distribusi Frekuensi Kemampuan Memecahkan Masalah Siswa Kelas Kontrol
Klasifikasi
Rentang Nilai
Kualifikasi
Frekuensi
Presentase (%)
A
<40
Sangat Rendah
0
0%
B
41 - 59
Rendah
1
3%
C
60 -74
Cukup Tinggi
11
31%
D
75 - 90
Tinggi
16
46%
E
91 - 100
Sangat Tinggi
7
20%
Jumlah
35
100%
Mean = 78; max= 96, min= 58
Tabel diatas menunjukan bahwa hasil perolehan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas kontrol tersebar antara kualifikasi rendah sampai sangat tinngi, sementara dikualifikasi sangat rendah tidak ada. Presentase terbanyak sebesar 46% atau 16 siswa berada pada kualifikasi tinggi. Sisanya sebanyak 31% terdapat pada kualifikasi cukup tinggi dan 20% dikualifikasi sangat tinggi. Sebagian kecil termasuk kualifikasi rendah yaitu 3% dan tidak ada satupun yang termasuk sangat rendah. Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas kontrol diperoleh setelah diberikan pelajaran dengan model pembelajaran konvensional adalah sebesar 78 dengan nilai tertinggi yaitu 96 dan nilai terendah 58.

2. Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Kritis Kelas Eksperimen
            Data ini merupakan hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa kelas X IIS 3 yaitu kelas eksperimen setelah mendapatkan perlakuan dengan model pembelajaran Discovery.

Distribusi Frekuensi Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen
Klasifikasi
Rentang Nilai
Kualifikasi
Frekuensi
Presentase (%)
A
<40
Sangat Rendah
0
0%
B
41 - 59
Rendah
2
6%
C
60 -74
Cukup Tinggi
4
11%
D
75 - 90
Tinggi
16
46%
E
91 - 100
Sangat Tinggi
13
37%
Jumlah
35
100%
Mean = 83,7; max= 100, min= 54

Tabel diatas menunjukan bahwa hasil perolehan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen dominan terdapat pada kualifikasi tinggi dan sangat tinggi, kualifikasi tinggi memiliki presentase sebesar 46% sementara kualifikasi sangat tinggi sebesar 37%. Sebagian kecil termasuk kualifikasi rendah (6%) dan cukup tinggi (11%) serta tidak ada satupun dengan kualifikasi sangat rendah. Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen diperoleh setelah diberikan pelajaran dengan model pembelajaran discovery adalah sebesar 83,7 dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah yang didapat adalah 54.
Berdasarkan uji normalitas menggunakan spss diketahui bahwa kelas eksperimen memiliki nilai Asymp Sig (2-tailed) yang lebih besar dari ɑ (0,161 > 0,05). Sedangkan kelas kontrol memiliki nilai Asymp Sig (2-tailed) yang lebih besar dari ɑ (0,103 > 0,05). Nilai yang diperoleh dari kedua kelas adalah > 0,05 H₁ diterima, maka tes kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen dan kontrol terdistribusi normal. Sementara berdasarkan uji homogenitas menggunakan spss menunjukan bahwa nilai signifikansi kelas kontrol dan eksperimen sebesar 0,839 dari hasil tersebut diartikan bahwa nilai signifikansi lebih besar dari ɑ, yaitu (0,839 > 0,05) H₁ diterima, maka tes kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen dan kontrol memiliki nilai varian yang sama.
Berdasarkan hasil uji t diketahui bahwa nilai signifkansi (2-tailed) pada kelas eksperimen adalah 0,034. Nilai tersebut diperoleh dengan tingkat kepercayaan 95%. Adapun kriteria berdasarkan signifikansi sebagai berikut.
1. Jika Sig (2-tailed) < 0,05 dan nilai rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol maka H₂ ditolak.
2. Jika Sig (2-tailed) ≥ 0,05 dan nilai rata-rata kelas kontrol lebih tinggi daripada kelas eksperimen maka H₂ diterima.
Hipotesis yang akan diuji sebagai berikut.
1. H₁ = ada pengaruh model discovery learning terhadap kemampuan berpikir kritis pada mata pelajaran geografi siswa kelas X IIS SMAN 10 Kota Malang.
2. H₂ = tidak ada pengaruh model discoovery learning terhadap kemampuan berpikir kritis pada mata pelajaran geografi siswa kelas X IIS SMAN 10 Kota Malang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, nilai probabilitas 0,034 < 0,05, sedangkan rata-rata kemampuan berpikir kritis peserta didik pada kelas eksperimen lebih besar dengan angka 83,7 dari pada kelas kontrol yang sebesar 78 dengan kata lain hipotesis H₂ ditolak dan hipotesis alternatif H₁ diterima. Dapat disimpulkan dengan ini bahwa hipotesis penelitian ini berbunyi ada pengaruh model discovery learning terhadap kemampuan berpikir kritis pada mata pelajaran geografi siswa kelas X IIS SMAN 10 Kota Malang.
Temuan eksperimen ini menunjukan bahwa model pembelajaran discovery berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Model discovery learning tersebut dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen pada mata pelajaran geografi yang menggunakan model discovery learning lebih baik dibandingkan kelas kontrol yang belajar secara konvensional menggunakan ceramah, tanya jawab, diskusi dan penugasan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran discovery dapat memperbaiki kemampuan berpikir kritis siswa yang terdiri dari merumuskan masalah, memberi argumen, melakukan deduksi, induksi, evaluasi, memutuskan dan melaksanakan.
Ada tujuh proses yang diduga menjadi penyebab pengaruh model pembelajaran discovery terhadap kemampuan berpikir kritis. Pertama, proses pemberian rangsangan. Pada awal pembelajaran siswa berkumpul dengan anggota kelompoknya masing-masing dan memperhatikan tayangan video tentang permasalahan daerah aliran sungai yang terjadi di Indonesia. Tahap ini siswa memberikan argumentasinya tentang penyebab dan dampak dari permasalahan daerah aliran sungai yang ada di Indonesia. Permasalahan ini disampaikan siswa secara acak dimuka kelas. Melalui pengalaman pribadi, masing-masing siswa memperkecil ruang lingkup permasalahan dengan menyebutkan permasalahan sungai yang terjadi disekitar mereka.
Pada tahap ini, siswa yang diberikan permasalahan dalam tayangan video sudah melaksanakan dan berlatih salah satu dari indikator berpikir kritis yaitu memberi argumen. Siswa mulai memberikan argumen dengan alasan yang sesuai, menunjukan permasalahan dan perbedaan, serta memberikan argumen secara utuh. Hal ini sesuai dengan Arends (dalam Trianto: 2014) yang menyatakan bahwa pemberian masalah dalam proses pembelajaran dimaksudkan agar siswa dapat menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, mengembangkan kemandirian dan percaya diri.
Kedua, proses identifikasi masalah. Tema permasalahan yang akan diteliti siswa adalah pemanfaatan dan pelestarian daerah aliran sungai. Siswa yang sudah berkumpul kedalam lima kelompok menentukan lokasi penelitian mereka sendiri yang terdiri atas sungai Talang, Madyopuro, Brantas – Jodipan, dan Bango. Sungai-sungai dipilih sendiri oleh masing-masing kelompok yang selanjutnya diidentifikasi permasalahannya. Dalam proses identifikasi masalah, siswa membuat rumusan masalah dan hipotesis penelitian. Rumusan masalah yang dibuat memilih dari salah satu tema antara pemanfaatan atau pelestarian daerah aliran sungai.
Identifikasi masalah menjadi dasar dari penelitian yang akan dilakukan oleh siswa. Proses identifikasi masalah yang dilakukan oleh siswa merupakan salah satu bentuk pengaplikasian indikator berpikir kritis yaitu merumuskan masalah. Hal ini dikarenakan dalam proses identifikasi masalah terdapat pembuatan rumusan masalah yang menjadi indikator dari berpikir kritis. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor yang meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa terutama dalam indikator rumusan masalah.
Ketiga, proses pengumpulan data. Sebelum mengumpulkan data dilapangan, siswa mencari permasalahan yang relevan dengan tema dan lokasi penelitian mereka dalam berita dan artikel yang ada internet. Tahapan selanjutnya, siswa membuat rumusan pertanyaan yang akan menjadi bahan siswa dalam proses wawancara dengan masyarakat sekitar.
Pada proses pengumpulan data dilapangan, siswa melakukan observasi terhadap kondisi daerah aliran sungai terlebih dahulu. Observasi ini meliputi kebersihan sungai sampai penggunaan sungai oleh masyarakat sekitar. Setelah melakukan obsrvasi, siswa melakukan wawancara dengan masyarakat sekitar secara acak. Salah satu hasil wawacara siswa yang melakukan penelitian disungai Brantas - Jodipan menyebutkan bahwa “dalam rangka kebersihan sungai brantas, warga melakukan kegiatan kerja bakti didaerah aliran sungai setiap dua bulan sekali ditambah iuran rutin.”
Proses pengumpulan data ini juga menjadi dasar bagi siswa untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis yang sebelumnya sudah dibuat oleh siswa. Hal ini sesuai pernyataan Syah (2004) bahwa proses pengumpulan data adalah guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Hal ini membuat proses pengumpulan data diduga meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa terutama dalam indikator induksi dan deduksi.
Keempat, proses pengolahan data. Proses ini dilakukan siswa didalam kelas. Siswa mengumpukan semua data dari proses kajian pustaka dan pengumpulan data lapangan yang selanjutnya dirangkum dan dinarasikan dalam lembar kerja kelompok. Siswa menuliskan semua hasil pengumpulan data yang selanjutnya akan diverifikasi.
Pada tahap pengolahan data siswa akan membuat generalisasi dari data yang sudah ada serta kesimpulan terkait hipotesis. Hal ini sejalan dengan pendapat Ennis (2005) yang menyatakan bahwa dalam kemampuan berpikir kritis melakukan induksi memiliki indikator melakukan investigasi atau pengumpulan data, membuat generalisasi dari data, dan membuat tabel atau grafik, membuat kesimpulan terkait hipotesis. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan proses pengolahan data diduga meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa terutama dalam indikator melakukan induksi.
Kelima, proses verifikasi. Hasil rangkuman siswa yang sudah selesai dalam tahap pengolahan data selanjutnya diverifikasi kembali oleh siswa. Siswa bersama kelompoknya melakukan diskusi untuk meninjau kembali hasil pengolahan data. Siswa memastikan bahwa hasil rangkuman data sudah mencakup semua data yang diperoleh siswa. Selanjutnya siswa membandingkan hasil rangkuman data hasil pengolahan data dengan hipotesis yang sudah dibuat. Salah satu hasil verifikasi siswa dari kelompok 2 menyatakan bahwa “ada kepedulian warga masyarakat sekitar terhadap upaya pelestarian sungai Brantas sebagai tempat wisata di daerah Jodipan, sehingga hipotesis diterima.”
Dalam tahap ini siswa belajar untuk meninjau kembali hasil dari pengolahan data yang sudah dilakukan dan menghubungkannya dengan hipotesis awal. Hal ini sejalan dengan pendapat Syah (2004) yang menyatakan bahwa pada tahap verifikasi siswa melakukan pemeriksaan secara cermat benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan pengolahan data. Tahap ini memiliki kesamaan dengan tahap melakukan evaluasi dalam berpikir kritis. Dalam tahap evaluasi siswa diminta untuk memberikan alternatif solusi, memberikan evaluasi berdasarkan fakta, serta meninjau kembali berdasarkan prinsip dan pedoman. Hal ini membuat proses verifikasi diduga meningkatkan kemampuan berpikir kritis terutama dalam indikator memberikan evaluasi.
Keenam, proses generalisasi. Dalam tahap generalisasi, siswa membuat kesimpulan akhir dari proses penelitian yang mereka lakukan. Kesimpulan akhir ini berdasarkan semua tahapan yang sudah dilalui oleh siswa sebelumnya. Berikut merupakan contoh kesimpulan akhir siswa yang melakukan penelitian di sungai Brantas daerah Jodipan. Kesimpulan akhir kelompok 2 menyatakan bahwa “sungai Brantas didaerah Jodipan mengalami peningkatan kebersihan dikarenakan kesadaran warga menjaga lingkungan sebagai tempat wisata, warga menjaga kebersihan dengan cara melakukan kerja bakti setiap dua bulan sekali dan iuran untuk kebersihan sungai. Melihat hal ini, kelompok 2 memberikan pendapat bahwa hal ini baik dilakukan dan diteruskan karena kesadaran masyarakat Jodipan akan kebersihan lingkungan menjadi lebih meningkat. Efek partisipasi masyarakat akan kesadaran lingkungan seharusnya bisa disebarluaskan meskipun daerah lain bukan daerah wisata. Pemerintah kota Malang seharusnya bisa menerapkan lomba kebersihan lingkungan secara rutin sehingga masyakat secara perlahan mau berpartisipasi dalam kebersihan lingkungan terutama daerah aliran sungai.” Dalam tahap ini siswa juga memutuskan diterima atau tidaknya hipotesis yang sudah dirancang.
Tahapan yang dilalui oleh siswa ini memiliki kemiripan dengan indikator dari kemampuan berpikir kritis yaitu memutuskan dan melaksanakan. Kemampuan berpikir kritis indikator memutuskan dan melaksanakan memiliki subindikator berupa memilih kemungkinan solusi dan menentukan kemungkinan-kemungkinan yang akan dilaksanakan. Subindikator tersebut dimiliki dan dilaksanakan oleh siswa dalam tahap generalisasi.
Ketujuh, pendampingan guru kepada siswa. Dalam melakukan proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran discovery, terdapat kesulitan tertentu yang dialami oleh beberapa siswa secara khusus. Hal ini diduga disebabkan oleh kebiasaan siswa menerima model pembelajaran konvensional sehingga belum memiliki pengalaman ketika menerima proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran discovery. Peran guru diperlukan untuk mendampingi siswa sehingga pembelajaran dengan model pembelajaran discovery dapat berjalan dengan efektif.
Dalam eksperimen ini pendampingan guru tidak hanya kepada beberapa siswa yang kesulitan beradaptasi dengan model pembelajaran discovery tetapi juga disetiap tahapan model pembelajaran. Hal ini sejalan dengan Sadirman (2005) yang mengemukakan bahwa guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan.  Guru mendampingi siswa dengan cara mendatangi dan memeriksa kerja siswa selama proses pembelajaran. Guru juga melakukan bimbingan dengan cara mendatangi siswa yang mengalami kesulitan. Mereka dibimbing dan didampingi sesuai dengan kesulitan yang dialaminya seperti melakukan identifikasi masalah, pengumpulan data, pengolahan data, verfikasi dan generalisasi.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengaruh model pembelajaran discovery terhadap kemampuan berpikir kritis terjadi karena siswa melalui tahapan pembelajaran discovery berupa pemberian rangsangan, identifikasi masalah, pengumpulan data, pengolahan data verifikasi dan generalisasi. Tahapan pembelajaran discovery tersebut memiliki kemiripan  dengan indikator kemampuan berpikir kritis. Hal ini sejalan dengan penyataan bagan 2.4 yang berjudul pengaruh model discovery learning terhadap kemampuan berpikir kritis, menyatakan bahwa sintaks model pembelajaran discovery memiliki kemiripan dengan indikator berpikir kritis. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Ballew (1967) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan pembelajaran discovery adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Siswa melakukan semua tahapan dengan cukup baik. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpukan bahwa tahapan model discovery learning memiliki pengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis.
Temuan penelitian ini juga memperkuat teori kontruktivisme. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan). Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui aktivitas seseorang (Sumarsih: 2009). Siswa diminta untuk mengkonstruksi proses pembelajaran yang mereka alami sendiri atau melalui aktivitas mereka sendiri. Oleh karena itu, siswa membangun konsep dan pemikiran mereka sendiri sehingga hasil pengetahuan atau pembelajaran dapat lebih bermakna.
Implementasi proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran discovery merupakan perwujudan teori kontruktivisme. Implementasi tersebut dapat dilihat dari (1) keterlibatan aktif siswa selama proses pembelajaran yang berlangsung, siswa bersama kelompoknya sendiri yang membuat identifikasi masalah, mengumpulkan data, mengolah data, melakukan verifikasi sampai melakukan generalisasi. Semua proses ini dilakukan secara aktif, penuh dan mandiri oleh siswa bersama kelompoknya sendiri. (2) Proses penelitian yang dilakukan siswa menggunakan model pembelajaran discovery merupakan penelitian yang konkret karena siswa melakukan penelitian pelestarian dan pemanfaatan daerah aliran sungai di sungai sekitar daerah Sawojajar Kota Malang. (3) Dalam akhir pembelajaran, siswa diminta melakukan generalisasi dan mengambil makna dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. (4) Keseluruhan kegiatan membuat siswa menjadi aktif, merumuskan konsep sendiri dan mengambil makna diakhir proses pembelajaran.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Setyorini dan Trijahyo (2012) yaitu (1) pengetahuan yang diperoleh dapat bertahan lebih lama dalam ingatan, atau lebih mudah diingat dibandingkan cara-cara lain, (2) dapat meningkatkan penalaran dan kemampuan untuk berpikir siswa karena mereka harus menganilisi dan memanipulasi informasi untuk memecahkan masalah, (3) membangkitkan keingintauan dan motivasi siswa untuk bekerja terus sampai mereka menemukan jawaban, (4) mendorong keterlibatan aktif, (5) mempromosikan otonomi, tanggung jawab, kemandirian, (6) dan pengalaman belajar yang disesuaikan. Siswa mendapat pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman langsung yang mereka lakukan dilapangan maupun didalam kelas, pengalaman ini dilakukan sendiri oleh siswa. Dalam hal ini membuat siswa menjadi lebih aktif dan membangkitkan rasa ingin tahu siswa.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data serta pembahasan maka dapat diambil kesimpulan bahwa model pembelajaran discovery berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran Geografi kelas X SMAN 10 Malang.. Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis yang diajarkan menggunakan model pembelajaran discovery lebih tinggi daripada nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis yang diajarkan menggunakan pembelajaran konvensional.

DAFTAR RUJUKAN
Arends, Richard I. 2008. Learning To Teach, Belajar Untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ennis, R.H. 2005. Critical Thingking Test, (online), (http://repository.upi.edu/1751/9/S_SEJ_0802620_Bibliography.pdf), diakses tanggal 2 Maret 2018.
Ennis, R.H. A Super Streamlined Conception of Critical Thingking, (online), (www.criticalthinking.net/definition.html), diakses tanggal 2 Maret 2018.
Fisher, A. 2008. Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Hosnan. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad 21 Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor: Ghalia Indonesia.Abidin. 2013. Sintaks-sintaks Model Problem Based Learning. Bogor. Ghalia Indonesia Setyorini dan Trijahyo, D.S. 2012. Peningkatan Pemahaman dan Aktivitas Perkuliahan Melalui Metode Discovery Learning Pada Mahasiswa Progam Studi BK FKIP UKS. Jurnal Widya Sari. 15(2). 126-156.
Sudirman, A. M. 2005. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press.Syah

Susanto, A. 2015. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Prenadamedia Group, Jakarta.
Syah, M. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Beriorentasi Konstruktivisme. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Widdiharto. 2004. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Gema Press.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) BANYUWANGI - SECARA UMUM

PERMASALAHAN PEMBELAJARAN GEOGRAFI DALAM KURIKULUM 2013