PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI KELAS X SMAN 10 MALANG
Teguh Dwi Imanda *, Budi Handoyo**, Hendri Purwito**
* Afiliasi
(Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Malang)
** Afiliasi
(Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Malang)
INFO ARTIKEL
|
|
ABSTRAK
|
RiwayatArtikel:
Diterima:
Disetujui:
|
|
Abstract: In the era of 21st century modernization,
critical critical thinking skills are owned by the younger generation. The
ability to think critically makes a person more alert and alert in seeing
things. In this study choose the
discovery learning model to solve the problem. Discovery learning model was
chosen to be experimented for several factors. These factors include: (1)
disocvery learning model developed based on a view of constructivism, (2)
using a scientific approach, (3) in accordance with the 2013 curriculum. The
design of this study used quasi experimental design with posttest only
control group design in experimental class and control class. The findings of
this experiment show that the discovery learning model has an effect on the
students' critical thinking ability.
Abstrak: Pada era modernisasi abad
21 seperti sekarang ini, kemampuan berpikir kritis penting dimiliki oleh
generasi muda. Kemampuan berpikir kritis membuat seseorang menjadi lebih awas
dan waspada dalam melihat sesuatu. Pada penelitian ini di
pilihlah model pembelajaran discovery untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Model
pembelajaran discovery dipilih untuk dieksperimenkan karena beberapa faktor.
Faktor tersebut meliputi: (1) model pembelajaran disocvery dikembangkan berdasarkan
pandangan kontruktivisme, (2) menggunakan pendekatan saintifik, (3) sesuai
dengan kurikulum 2013. Rancangan pada penelitian ini menggunakan quasi experiment deisgn dengan posttest only control grup design pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Temuan eksperimen ini menunjukan bahwa model
pembelajaran discovery berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.
|
Kata kunci:
Model pembelajaran discovery,
eksperimen, kemampuan berpikir kritis, control
|
||
Alamat
Korespondensi:
Teguh
Dwi Imanda
Pendidikan
Geografi
Universitas
Negeri Malang
Alamat
Instansi Asal
|
PENDAHULUAN
Pada era modernisasi abad 21 seperti
sekarang ini, kemampuan berpikir kritis penting dimiliki oleh generasi muda.
Kemampuan berpikir kritis membuat seseorang menjadi lebih awas dan waspada
dalam melihat sesuatu. Hal ini membuat individu menjadi lebih aktif dalam
menilai suatu peristiwa dan tidak mudah menyimpulkan secara asal-asalan. Dengan
demikan, begitu penting kemampuan berpikir kritis dimiliki oleh individu dan
generasi muda yang berguna untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dalam dunia
yang senantiasa berubah.
Pembelajaran
Discovery merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat dikembangkan untuk
meningkatkan kemampuan berpikir siswa pada mata pelajaran Geografi. Hal
tersebut dikarenakan pada pembelajaran Discovery, siswa diminta untuk
mengorganisasi bahan yang akan mereka pelajari sendiri. Menurut Hosnan (2016),
pada pembelajaran Discovery siswa didorong untuk terutama belajar sendiri
melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, anak juga
bisa belajar berpikir analisis dengan mencoba memecahkan sendiri problem yang
dihadapi. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pembelajaran discovery
mendorong siswa bukan lagi menjadi objek dari pembelajaran. Siswa akan menjadi
lebih mandiri dalam pembelajaran, hal ini otomatis membuat siswa lebih aktif
dan kritis dalam proses pembelajaran. Dengan begini kelas yang interaktif serta
guru yang berperan sebagai mediator dan fasilitator dapat terwujud.
Model pembelajaran discovery dipilih
untuk dieksperimenkan karena beberapa faktor. Faktor tersebut meliputi: (1)
model pembelajaran disocvery dikembangkan berdasarkan pandangan kontruktivisme,
(2) menggunakan pendekatan saintifik, (3) sesuai dengan kurikulum 2013.
Pembelajaran dalam kegiatan ini sangat penting untuk diteliti. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran discovery terhadap kemampuan berpikir
kritis siswa pada mata pelajaran geografi kelas X SMAN 10 Malang.
METODE
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran discovery terhadap
kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran Geografi kelas X SMAN 10
Malang. Berdasarkan tujuan yang dirumuskan, maka penelitian ini menggunakan
rancangan eksperimen semu (quasi experiment) yaitu eksperimen yang tidak murni
karena tidak sepenuhnya melakukan kontrol.
Rancangan pada penelitian eksperimen semu (quast
experiment) ini adalah posttest only control grup design, dimana subjek
penelitian terdiri dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen
diberikan perlakuan berupa model discovery learning, sedangkan kelas kontrol
sebagai pembanding tidak diberi perlakuan model discovery learning
(konvensional).
Data yang
diperoleh untuk pengujian hipotesis pada penelitian eksperimen ini yaitu dengan
test uraian berjumlah enam butir soal dengan menggunakan posttest only pada
siswa. Posttest diberikan kepada siswa setelah mendapat perlakuan baik itu pada
kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol. Selanjutnya selisih dari posttest
(gain score) kelas eksperimen dan kontrol inilah yang digunakan untuk menguji
kebenaran hipotesis.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran discovery terhadap
kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran Geografi kelas X SMAN 10
Malang. Sampel pada penelitian ini sebanyak 35 siswa kelas eksperimen dan kontrol. Kemampuan berpikir kritis memiliki enam indikator
yaitu 1) Merumuskan masalah, 2) memberi argumen, 3) melakukan deduksi, 4) melakukan induksi, 5) melakukan evaluasi, dan 6) memutuskan serta melaksanakan. Hasil tersebut didapat melalui posttest
kemampuan berpikir
kritis. Berikut paparannya.
1. Deskripsi
Data Kemampuan Berpikir Kritis Kelas Kontrol
Data
ini merupakan hasil tes kemampuan berpikir
kritis kelas X IIS 2 yang merupakan kelas kontrol. Distribusi frekuensi kemampuan berpikir kritis kelas kontrol dapat dilihat pada tabel:
Distribusi Frekuensi Kemampuan Memecahkan
Masalah Siswa Kelas Kontrol
Klasifikasi
|
Rentang Nilai
|
Kualifikasi
|
Frekuensi
|
Presentase (%)
|
A
|
<40
|
Sangat Rendah
|
0
|
0%
|
B
|
41 - 59
|
Rendah
|
1
|
3%
|
C
|
60 -74
|
Cukup Tinggi
|
11
|
31%
|
D
|
75 - 90
|
Tinggi
|
16
|
46%
|
E
|
91 - 100
|
Sangat Tinggi
|
7
|
20%
|
Jumlah
|
35
|
100%
|
Mean = 78; max= 96, min= 58
Tabel diatas menunjukan bahwa hasil perolehan
kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas kontrol tersebar antara kualifikasi
rendah sampai sangat tinngi, sementara dikualifikasi sangat rendah tidak ada.
Presentase terbanyak sebesar 46% atau 16 siswa berada pada kualifikasi tinggi.
Sisanya sebanyak 31% terdapat pada kualifikasi cukup tinggi dan 20%
dikualifikasi sangat tinggi. Sebagian kecil termasuk kualifikasi rendah yaitu
3% dan tidak ada satupun yang termasuk sangat rendah. Nilai rata-rata kemampuan
berpikir kritis siswa pada kelas kontrol diperoleh setelah diberikan pelajaran
dengan model pembelajaran konvensional adalah sebesar 78 dengan nilai tertinggi
yaitu 96 dan nilai terendah 58.
2. Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Kritis
Kelas Eksperimen
Data ini merupakan hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa kelas X IIS 3 yaitu kelas eksperimen setelah mendapatkan perlakuan dengan model
pembelajaran Discovery.
Distribusi Frekuensi Kemampuan Berpikir
Kritis Siswa Kelas Eksperimen
Klasifikasi
|
Rentang Nilai
|
Kualifikasi
|
Frekuensi
|
Presentase (%)
|
A
|
<40
|
Sangat Rendah
|
0
|
0%
|
B
|
41 - 59
|
Rendah
|
2
|
6%
|
C
|
60 -74
|
Cukup Tinggi
|
4
|
11%
|
D
|
75 - 90
|
Tinggi
|
16
|
46%
|
E
|
91 - 100
|
Sangat Tinggi
|
13
|
37%
|
Jumlah
|
35
|
100%
|
Mean = 83,7;
max= 100, min= 54
Tabel diatas
menunjukan bahwa hasil perolehan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas
eksperimen dominan terdapat pada kualifikasi tinggi dan sangat tinggi,
kualifikasi tinggi memiliki presentase sebesar 46% sementara kualifikasi sangat
tinggi sebesar 37%. Sebagian kecil termasuk kualifikasi rendah (6%) dan cukup
tinggi (11%) serta tidak ada satupun dengan kualifikasi sangat rendah. Nilai
rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen diperoleh
setelah diberikan pelajaran dengan model pembelajaran discovery adalah sebesar
83,7 dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah yang didapat adalah 54.
Berdasarkan uji normalitas menggunakan spss
diketahui bahwa kelas eksperimen memiliki nilai Asymp Sig (2-tailed) yang lebih
besar dari ɑ (0,161 > 0,05). Sedangkan
kelas kontrol memiliki nilai Asymp Sig (2-tailed) yang lebih besar dari ɑ (0,103 > 0,05). Nilai yang diperoleh dari
kedua kelas adalah > 0,05 H₁ diterima, maka tes kemampuan berpikir kritis
kelas eksperimen dan kontrol terdistribusi normal. Sementara berdasarkan uji
homogenitas menggunakan spss menunjukan bahwa nilai signifikansi kelas kontrol
dan eksperimen sebesar 0,839 dari hasil tersebut diartikan bahwa nilai
signifikansi lebih besar dari ɑ, yaitu (0,839
> 0,05) H₁ diterima, maka tes kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen dan
kontrol memiliki nilai varian yang sama.
Berdasarkan hasil uji t diketahui bahwa nilai signifkansi (2-tailed)
pada kelas eksperimen adalah 0,034. Nilai tersebut diperoleh dengan tingkat
kepercayaan 95%. Adapun kriteria
berdasarkan signifikansi sebagai berikut.
1. Jika Sig (2-tailed) < 0,05 dan nilai rata-rata kelas eksperimen lebih
tinggi daripada kelas kontrol maka H₂ ditolak.
2. Jika Sig (2-tailed) ≥ 0,05 dan nilai rata-rata kelas kontrol lebih
tinggi daripada kelas eksperimen maka H₂ diterima.
Hipotesis yang akan diuji sebagai berikut.
1. H₁ = ada pengaruh model discovery learning terhadap kemampuan berpikir
kritis pada mata pelajaran geografi siswa kelas X IIS SMAN 10 Kota Malang.
2. H₂ = tidak ada pengaruh model discoovery learning terhadap kemampuan
berpikir kritis pada mata pelajaran geografi siswa kelas X IIS SMAN 10 Kota
Malang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, nilai probabilitas
0,034 < 0,05, sedangkan rata-rata kemampuan berpikir kritis peserta didik pada
kelas eksperimen lebih besar dengan angka 83,7 dari pada kelas kontrol yang
sebesar 78 dengan kata lain hipotesis H₂ ditolak dan hipotesis alternatif H₁
diterima. Dapat disimpulkan dengan ini bahwa hipotesis penelitian ini berbunyi
ada pengaruh model discovery learning terhadap kemampuan berpikir kritis pada
mata pelajaran geografi siswa kelas X IIS SMAN 10 Kota Malang.
Temuan eksperimen ini menunjukan
bahwa model pembelajaran discovery berpengaruh terhadap kemampuan berpikir
kritis siswa. Model discovery learning tersebut dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen pada mata
pelajaran geografi yang menggunakan model discovery learning lebih baik
dibandingkan kelas kontrol yang belajar secara konvensional menggunakan
ceramah, tanya jawab, diskusi dan penugasan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran discovery dapat memperbaiki kemampuan berpikir kritis
siswa yang terdiri dari merumuskan masalah, memberi argumen, melakukan deduksi,
induksi, evaluasi, memutuskan dan melaksanakan.
Ada tujuh proses yang diduga menjadi
penyebab pengaruh model pembelajaran discovery terhadap kemampuan berpikir
kritis. Pertama, proses pemberian rangsangan. Pada awal pembelajaran siswa
berkumpul dengan anggota kelompoknya masing-masing dan memperhatikan tayangan
video tentang permasalahan daerah aliran sungai yang terjadi di Indonesia.
Tahap ini siswa memberikan argumentasinya tentang penyebab dan dampak dari
permasalahan daerah aliran sungai yang ada di Indonesia. Permasalahan ini
disampaikan siswa secara acak dimuka kelas. Melalui pengalaman pribadi,
masing-masing siswa memperkecil ruang lingkup permasalahan dengan menyebutkan
permasalahan sungai yang terjadi disekitar mereka.
Pada tahap ini, siswa yang diberikan
permasalahan dalam tayangan video sudah melaksanakan dan berlatih salah satu
dari indikator berpikir kritis yaitu memberi argumen. Siswa mulai memberikan
argumen dengan alasan yang sesuai, menunjukan permasalahan dan perbedaan, serta
memberikan argumen secara utuh. Hal ini sesuai dengan Arends (dalam Trianto:
2014) yang menyatakan bahwa pemberian masalah dalam proses pembelajaran
dimaksudkan agar siswa dapat menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, mengembangkan kemandirian dan percaya diri.
Kedua, proses identifikasi masalah.
Tema permasalahan yang akan diteliti siswa adalah pemanfaatan dan pelestarian
daerah aliran sungai. Siswa yang sudah berkumpul kedalam lima kelompok
menentukan lokasi penelitian mereka sendiri yang terdiri atas sungai Talang,
Madyopuro, Brantas – Jodipan, dan Bango. Sungai-sungai dipilih sendiri oleh
masing-masing kelompok yang selanjutnya diidentifikasi permasalahannya. Dalam
proses identifikasi masalah, siswa membuat rumusan masalah dan hipotesis
penelitian. Rumusan masalah yang dibuat memilih dari salah satu tema antara
pemanfaatan atau pelestarian daerah aliran sungai.
Identifikasi masalah menjadi dasar
dari penelitian yang akan dilakukan oleh siswa. Proses identifikasi masalah yang dilakukan oleh siswa merupakan salah
satu bentuk pengaplikasian indikator berpikir kritis yaitu merumuskan masalah.
Hal ini dikarenakan dalam proses identifikasi masalah terdapat pembuatan
rumusan masalah yang menjadi indikator dari berpikir kritis. Hal ini diduga
menjadi salah satu faktor yang meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa
terutama dalam indikator rumusan masalah.
Ketiga, proses pengumpulan data.
Sebelum mengumpulkan data dilapangan, siswa mencari permasalahan yang relevan
dengan tema dan lokasi penelitian mereka dalam berita dan artikel yang ada
internet. Tahapan selanjutnya, siswa membuat rumusan pertanyaan yang akan
menjadi bahan siswa dalam proses wawancara dengan masyarakat sekitar.
Pada proses pengumpulan data
dilapangan, siswa melakukan observasi terhadap kondisi daerah aliran sungai
terlebih dahulu. Observasi ini meliputi kebersihan sungai sampai penggunaan
sungai oleh masyarakat sekitar. Setelah melakukan obsrvasi, siswa melakukan
wawancara dengan masyarakat sekitar secara acak. Salah satu hasil wawacara
siswa yang melakukan penelitian disungai Brantas - Jodipan menyebutkan bahwa
“dalam rangka kebersihan sungai brantas, warga melakukan kegiatan kerja bakti
didaerah aliran sungai setiap dua bulan sekali ditambah iuran rutin.”
Proses pengumpulan data ini juga
menjadi dasar bagi siswa untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis yang
sebelumnya sudah dibuat oleh siswa. Hal ini sesuai pernyataan Syah (2004) bahwa
proses pengumpulan data adalah guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin yang relevan untuk membuktikan benar
atau tidaknya hipotesis. Hal ini membuat proses pengumpulan data diduga
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa terutama dalam indikator induksi
dan deduksi.
Keempat, proses pengolahan data.
Proses ini dilakukan siswa didalam kelas. Siswa mengumpukan semua data dari
proses kajian pustaka dan pengumpulan data lapangan yang selanjutnya dirangkum
dan dinarasikan dalam lembar kerja kelompok. Siswa menuliskan semua hasil
pengumpulan data yang selanjutnya akan diverifikasi.
Pada tahap pengolahan data siswa
akan membuat generalisasi dari data yang sudah ada serta kesimpulan terkait
hipotesis. Hal ini sejalan dengan pendapat Ennis (2005) yang menyatakan bahwa
dalam kemampuan berpikir kritis melakukan induksi memiliki indikator melakukan
investigasi atau pengumpulan data, membuat generalisasi dari data, dan membuat
tabel atau grafik, membuat kesimpulan terkait hipotesis. Berdasarkan hal
tersebut, dapat disimpulkan proses pengolahan data diduga meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa terutama dalam indikator melakukan induksi.
Kelima, proses verifikasi. Hasil
rangkuman siswa yang sudah selesai dalam tahap pengolahan data selanjutnya
diverifikasi kembali oleh siswa. Siswa bersama kelompoknya melakukan diskusi
untuk meninjau kembali hasil pengolahan data. Siswa memastikan bahwa hasil
rangkuman data sudah mencakup semua data yang diperoleh siswa. Selanjutnya
siswa membandingkan hasil rangkuman data hasil pengolahan data dengan hipotesis
yang sudah dibuat. Salah satu hasil verifikasi siswa dari kelompok 2 menyatakan
bahwa “ada kepedulian warga masyarakat sekitar terhadap upaya pelestarian
sungai Brantas sebagai tempat wisata di daerah Jodipan, sehingga hipotesis
diterima.”
Dalam tahap ini siswa belajar untuk
meninjau kembali hasil dari pengolahan data yang sudah dilakukan dan
menghubungkannya dengan hipotesis awal. Hal ini sejalan dengan pendapat Syah
(2004) yang menyatakan bahwa pada tahap verifikasi siswa melakukan pemeriksaan
secara cermat benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan
alternatif, dihubungkan dengan pengolahan data. Tahap ini memiliki kesamaan
dengan tahap melakukan evaluasi dalam berpikir kritis. Dalam tahap evaluasi
siswa diminta untuk memberikan alternatif solusi, memberikan evaluasi
berdasarkan fakta, serta meninjau kembali berdasarkan prinsip dan pedoman. Hal
ini membuat proses verifikasi diduga meningkatkan kemampuan berpikir kritis
terutama dalam indikator memberikan evaluasi.
Keenam, proses generalisasi. Dalam
tahap generalisasi, siswa membuat kesimpulan akhir dari proses penelitian yang
mereka lakukan. Kesimpulan akhir ini berdasarkan semua tahapan yang sudah
dilalui oleh siswa sebelumnya. Berikut merupakan contoh kesimpulan akhir siswa
yang melakukan penelitian di sungai Brantas daerah Jodipan. Kesimpulan akhir
kelompok 2 menyatakan bahwa “sungai Brantas didaerah Jodipan mengalami
peningkatan kebersihan dikarenakan kesadaran warga menjaga lingkungan sebagai
tempat wisata, warga menjaga kebersihan dengan cara melakukan kerja bakti
setiap dua bulan sekali dan iuran untuk kebersihan sungai. Melihat hal ini,
kelompok 2 memberikan pendapat bahwa hal ini baik dilakukan dan diteruskan
karena kesadaran masyarakat Jodipan akan kebersihan lingkungan menjadi lebih meningkat.
Efek partisipasi masyarakat akan kesadaran lingkungan seharusnya bisa
disebarluaskan meskipun daerah lain bukan daerah wisata. Pemerintah kota Malang
seharusnya bisa menerapkan lomba kebersihan lingkungan secara rutin sehingga
masyakat secara perlahan mau berpartisipasi dalam kebersihan lingkungan
terutama daerah aliran sungai.” Dalam tahap ini siswa juga memutuskan diterima
atau tidaknya hipotesis yang sudah dirancang.
Tahapan yang dilalui oleh siswa ini
memiliki kemiripan dengan indikator dari kemampuan berpikir kritis yaitu
memutuskan dan melaksanakan. Kemampuan berpikir kritis indikator memutuskan dan
melaksanakan memiliki subindikator berupa memilih kemungkinan solusi dan
menentukan kemungkinan-kemungkinan yang akan dilaksanakan. Subindikator tersebut
dimiliki dan dilaksanakan oleh siswa dalam tahap generalisasi.
Ketujuh, pendampingan guru kepada
siswa. Dalam melakukan proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran
discovery, terdapat kesulitan tertentu yang dialami oleh beberapa siswa secara
khusus. Hal ini diduga disebabkan oleh kebiasaan siswa menerima model
pembelajaran konvensional sehingga belum memiliki pengalaman ketika menerima
proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran discovery. Peran guru
diperlukan untuk mendampingi siswa sehingga pembelajaran dengan model
pembelajaran discovery dapat berjalan dengan efektif.
Dalam eksperimen ini pendampingan
guru tidak hanya kepada beberapa siswa yang kesulitan beradaptasi dengan model
pembelajaran discovery tetapi juga disetiap tahapan model pembelajaran. Hal ini
sejalan dengan Sadirman (2005) yang mengemukakan bahwa guru harus dapat
membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Guru mendampingi siswa dengan cara mendatangi
dan memeriksa kerja siswa selama proses pembelajaran. Guru juga melakukan
bimbingan dengan cara mendatangi siswa yang mengalami kesulitan. Mereka
dibimbing dan didampingi sesuai dengan kesulitan yang dialaminya seperti
melakukan identifikasi masalah, pengumpulan data, pengolahan data, verfikasi
dan generalisasi.
Berdasarkan pernyataan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa pengaruh model pembelajaran discovery terhadap
kemampuan berpikir kritis terjadi karena siswa melalui tahapan pembelajaran
discovery berupa pemberian rangsangan, identifikasi masalah, pengumpulan data,
pengolahan data verifikasi dan generalisasi. Tahapan pembelajaran discovery
tersebut memiliki kemiripan dengan
indikator kemampuan berpikir kritis. Hal ini sejalan dengan penyataan bagan 2.4
yang berjudul pengaruh model discovery learning terhadap kemampuan berpikir
kritis, menyatakan bahwa sintaks model pembelajaran discovery memiliki
kemiripan dengan indikator berpikir kritis. Hal ini juga sejalan dengan
pendapat Ballew (1967) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan pembelajaran discovery
adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Siswa melakukan
semua tahapan dengan cukup baik. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpukan
bahwa tahapan model discovery learning memiliki pengaruh terhadap kemampuan
berpikir kritis.
Temuan penelitian ini juga
memperkuat teori kontruktivisme. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan hasil
konstruksi (bentukan). Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu
konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui aktivitas seseorang
(Sumarsih: 2009). Siswa diminta untuk mengkonstruksi proses pembelajaran yang
mereka alami sendiri atau melalui aktivitas mereka sendiri. Oleh karena itu,
siswa membangun konsep dan pemikiran mereka sendiri sehingga hasil pengetahuan
atau pembelajaran dapat lebih bermakna.
Implementasi proses pembelajaran
menggunakan model pembelajaran discovery merupakan perwujudan teori
kontruktivisme. Implementasi tersebut dapat dilihat dari (1) keterlibatan aktif
siswa selama proses pembelajaran yang berlangsung, siswa bersama kelompoknya
sendiri yang membuat identifikasi masalah, mengumpulkan data, mengolah data,
melakukan verifikasi sampai melakukan generalisasi. Semua proses ini dilakukan
secara aktif, penuh dan mandiri oleh siswa bersama kelompoknya sendiri. (2)
Proses penelitian yang dilakukan siswa menggunakan model pembelajaran discovery
merupakan penelitian yang konkret karena siswa melakukan penelitian pelestarian
dan pemanfaatan daerah aliran sungai di sungai sekitar daerah Sawojajar Kota
Malang. (3) Dalam akhir pembelajaran, siswa diminta melakukan generalisasi dan
mengambil makna dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. (4) Keseluruhan
kegiatan membuat siswa menjadi aktif, merumuskan konsep sendiri dan mengambil
makna diakhir proses pembelajaran.
Hasil penelitian ini juga sesuai
dengan pendapat Setyorini dan Trijahyo (2012) yaitu (1) pengetahuan yang
diperoleh dapat bertahan lebih lama dalam ingatan, atau lebih mudah diingat
dibandingkan cara-cara lain, (2) dapat meningkatkan penalaran dan kemampuan
untuk berpikir siswa karena mereka harus menganilisi dan memanipulasi informasi
untuk memecahkan masalah, (3) membangkitkan keingintauan dan motivasi siswa
untuk bekerja terus sampai mereka menemukan jawaban, (4) mendorong keterlibatan
aktif, (5) mempromosikan otonomi, tanggung jawab, kemandirian, (6) dan
pengalaman belajar yang disesuaikan. Siswa mendapat pengetahuan yang diperoleh
dari pengalaman langsung yang mereka lakukan dilapangan maupun didalam kelas,
pengalaman ini dilakukan sendiri oleh siswa. Dalam hal ini membuat siswa
menjadi lebih aktif dan membangkitkan rasa ingin tahu siswa.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data
serta pembahasan maka dapat diambil kesimpulan bahwa model pembelajaran discovery
berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran
Geografi kelas X SMAN 10 Malang.. Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis yang
diajarkan menggunakan model pembelajaran discovery lebih
tinggi daripada nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis yang diajarkan menggunakan
pembelajaran konvensional.
DAFTAR RUJUKAN
Arends, Richard I. 2008. Learning
To Teach, Belajar Untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ennis, R.H. 2005. Critical
Thingking Test, (online), (http://repository.upi.edu/1751/9/S_SEJ_0802620_Bibliography.pdf),
diakses tanggal 2 Maret 2018.
Ennis, R.H. A Super Streamlined Conception of
Critical Thingking, (online), (www.criticalthinking.net/definition.html),
diakses tanggal 2 Maret 2018.
Fisher, A. 2008. Berpikir
Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Hosnan. 2014.
Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad 21 Kunci Sukses
Implementasi Kurikulum 2013. Bogor: Ghalia Indonesia.Abidin.
2013. Sintaks-sintaks Model Problem Based
Learning. Bogor. Ghalia Indonesia Setyorini dan Trijahyo, D.S. 2012. Peningkatan Pemahaman dan Aktivitas
Perkuliahan Melalui Metode Discovery Learning Pada Mahasiswa Progam Studi BK
FKIP UKS. Jurnal Widya Sari. 15(2). 126-156.
Sudirman, A. M.
2005. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press.Syah
Susanto, A. 2015. Teori Belajar dan Pembelajaran
di Sekolah Dasar. Prenadamedia Group, Jakarta.
Syah, M. 2004. Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif
Beriorentasi Konstruktivisme. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Widdiharto. 2004. Model-Model
Pembelajaran. Jakarta: Gema Press.
Komentar
Posting Komentar